Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 167-175)
A.
Gonjang-Ganjing Hukum di Indonesia
Perkembangan hukum di Indonesia memiliki perjalanan yang cukup panjang hingga akhirnya kita mengenal hukum positif Indonesia saat ini. Dalam pengungkapan sejarah tata hukum dan politik hukum di Indonesia, dari masa pra kolonial hingga era reformasi atau saat ini, akan diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu:
1.
Fase Pra-Kolonial
Bangsa Indonesia memiliki sejarah bangsa yang luhur dan tak ternilai harganya. Sejak jaman tandu di kepulauan Nusantara ini telah ada kehidupan manusia dalam perkembangan sejarah manusia. Akan tetapi pencatatan kejadian-kejadian penting terhadap kehidupan bangsa Indonesia di masa lalu baru ada sejak beberapa abad kemarin, dan ini pun diketahui setelah ada penelitian-penelitian dari peninggalan-peninggalan sejarah yang bersifat arkeologis yang ditemukan.[1]
Kemudian setelah
kehidupan manusia di Nusantara
berkembang serta masuknya budaya dari luar, hubungan antar pulau pun
mulai terjalin. Hal itu mengakibatkan terbangunnya kehidupan kelompok sosial yang mulai teratur dibawah
pimpinan seorang raja atau orang-orang yang dianggap kuat (sakti) untuk
menjalankan pengawasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Pengawasan pergaulan
hidup masyarakat saat itu masih dilakukan pada wilayah-wilayah kelompok sosial
masing-masing yang tersebar di seluruh
kepulauan Nusantara.
2.
Fase Kolonial
Mulai
tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini
adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil
yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor
Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika
berintegrasi menjadi provinsi di Indonesia yang bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun,
kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang
pada masa Perang Dunia II.
Sewaktu
menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia.
350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang (termasuk juga penulis) adalah
mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda
mendekati kebangkrutannya. Tahun 1600-an itu adalah waktu masuknya Belanda di
Nusantara, bukan awal mula penjajahannya. Belanda membutuhkan waktu ratusan
tahun untuk benar-benar menguasai seluruh kepualaun Nusantara.
Pada
abad ke XVII dan XVIII Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh
pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Verenigde
Oostindische Compagnie atau VOC. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap
perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda
pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
a.
Masa VOC 1602-1799
Kongsi
Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC)
yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah persekutuan dagang
asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan
di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia
Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan
multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan
perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang
saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi
fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara
dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah
negara dalam negara.
Pada
tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur
Jenderal Pierter Both untuk membuat peraturan yang harus disesuaikan dengan
kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan yang
dibuat Gubernur Jenderal itu, kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan
yang dibuat sendiri oleh direksi VOC di belanda dengan nama “Heeren
Zeventien”. Setelah penyusunan selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di
Batavia (sekarang Jakarta) dengan nama “Statuta van Batavia”.[2]
Sampai berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13
Desember 1799, tidak ada aturan hukum lain yang berlaku kecuali yang disebutkan
tadi.
b.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1800-1942
Pada
tanggal 1 Januari 1800 daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah
Belanda. Sejak saat itu sebagian kepulauan di Nusantara mengalami penjajahan
pemerintah Belanda dengan menjalankan peraturan-peraturan pemerintahan dan
hukum yang berpedoman pada aturan di negeri Belanda. Untuk mengurusi Nusantara,
saat itu raja/ratu Belanda mengutus Gubernur Jenderal yang bernama Herman
Willam Deandels untuk mengurusi daerah jajahan di Nusantara. Pada masa
pemerintahanya, Deandels membagi Pulau Jawa menjadi 9 Kerasidenan, dan
menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah Belanda dengan menerima gaji.
Pada
tahun 1811, Deandels diganti oleh Jensens yang tidak lama memerintah karena
pada tahun itu juga kepulauan di Nusantara dikuasai oleh Inggris dan pemerintah
Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffle sebagai Letnan Gubernur. Kemudian
dalam pemerintahanya Raffles mengubah Jawa menjadi 19 Kerasidenan dan kekuasaan
Bupati dikurangi. Saat itu seluruh rakyat dibebani Pajak Bumi (landrente).
Sebagai
hasil dari konvensi London pada tanggal 17 Maret 1814, maka Inggris menyerahkan
kembali kepulauan Nusantara kepada Belanda. Sejak saat itu seluruh tata
pemerintahan dan tata hukum diatur dengan baik. Dan sejarah
perundangan-undangan yang berlaku dibagi menjadi 3 masa, yaitu :
1)
Masa Besluiten Regerings 1814-1855
Dalam
melaksanakan kekuasaannya hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan
peraturan yang berlaku umum dengan sebutan Algemene Verordening
(peraturan pusat). Karena peraturan pusat ini dibuat oleh raja, maka dinamakan
juga Koninklijk Besluit (Besluit Raja).
2)
Masa Regerings Reglement 1855-1926
Dalam
peraturan dasar pemerintahan yang dibuat untuk kepentingan daerah jajahan di
Indonesia maka dibuatlah UU (wet) waktu itu dinamakan Regering
Reglement (RR). Dan RR ini diundangkan pada tanggal 1 Januari 1854, tetapi
mulai berlaku pada tahun 1855. Dimana RR dalam ketentuan materi peraturannya
memuat 130 pasal dalam 8 bab yang mengatur tentang tata pemerintahan di
Hindia-Belanda, maka RR itu dianggap sebagai UUD pemerintahan jajahan Belanda.
3)
Masa Indische Staatstregeling 1926-1942
Pada
tahun 1918 oleh pemerintah Belanda dibentuk sebuah Volksraad (wakil
rakyat) sebagai hasil perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki ikut
menentukan nasib bangsanya. Dengan dibentuknya wakil rakyat tahun 1918 itu,
maka pemerintah Belanda merencanakan untuk merubah RR. Namun rencana itu baru
terlaksana beberapa tahun kemudian setelah Grondwet Belanda mengalami
perubahan lagi tahun 1922. Perubahan ini terutama menyangkut wewenang raja
terhadap daerah jajahan. Regerings Reglement yang berlaku pada 1855
diubah dan diganti menjadi Indisch Staatsregeling yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1926.[3]
c.
Masa Pendudukan Jepang
Untuk
melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan bala tentara Jepang
berpedoman pada undang-undang yang disebut Gunseirei. Setiap peraturan
yang dibuat demi kepentingan di Jawa dan Madura berpedomankan pada Gunseirei
melalui Osamu Seirei. Dan Osamu Seirei itu diperlukan untuk
mengatur segala yang dibutuhkan oleh pemerintahan melalui peraturan pelaksana
yang disebut Osamu Kenrei.
d.
Fase Kemerdekaan
Pada
tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom
dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika
Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang
di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), atau Dokuritsu Junbi
Cosakai, berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai
dalam bahasa Jepang. Pada tanggal 9 Agustus
1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga hal itu dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai
negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan wadah organisasi bangsa demi
melaksanakan dan mengisi kemerdekaanya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa
Indonesia menetapkan dan memberlakukan UUD yang merupakan hasil dari perumusan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yakni sebuah badan
yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia dikemudian hari. Dan setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan
UUD itu ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia atau yang
lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945.
Selama
kemerdekaanya, bangsa Indonesia mengalami pasang-sarut dalam menjalankan roda
pemerintahanya, dimana hal ini berpengaruh pada dinamika politik hukum di
Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada politik hukum Indonesia
dapat di golongkan menjadi tiga masa, yaitu:
a.
Masa Orde Lama
Masa
pemerintahan orde lama merupakan masa dibawah pimpinan presiden Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai wakil presiden yang ditetapkan secara aklamasi oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Sejak saat
itu tata hukum positif di Indonesia adalah sistem hukum yang tersusun atas
sub-sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Setidaknya ada tiga periode
penting di masa orde lama, yaitu:
1)
Periode 1945-1950
Perubahan
penting dalam pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan
unifikasi badan pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung, dengan mengatur hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan UU No.
7 Tahun 1947 tentang Organisasi dan Kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian
diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan
Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Pada dasarnya penetapan ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah
pendudukan bala tentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi
eksekutif dan fungsi yudikatif.[4]
2)
Periode 1950-1959
Setelah
berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap berhasil pada masa
ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan
perundang-undangan, pemerintah juga berhasil
menyelenggarakan Pemilihan Umum secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbetuknya badan Konstituante.[5]
Pada
periode ini langkah penting dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah
diberlakukannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pada UU ini kedudukan hakim setara dengan penuntut
umum.
3)
Periode 1959-1965
Perkembangan
politik hukum pada masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5
Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang
diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dari Dekret tersebut antara lain:
a)
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya;
b) Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950;
c) Pembubaran Konstituante.
Produk
perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang paling penting dalam
partumbuhan tata hukum di Indonesia adalah terbitnya UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan
sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak
berlaku lagi.[6]
b.
Masa Orde Baru
Setelah
kudeta G.30S/PKI berhasil digagalkan dan sejak terbitnya Surat Perintah 11
Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Supersemar, maka dimulailah
babak baru dalam kehidupan sejarah bangsa Indonesia yang kemudian menyebut
dirinya sebagai pemerintahan Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru
berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Demi
mewujudkan hal tersebut diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan
berbagai ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi.
Sebagai konsekuensi pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan
cita-cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah
susunan perundang-undangan (hierarki) sebagai berikut:
1)
Undang-Undang Dasar 1945;
2) Ketetapan
MPR;
3)
Undang-Undang/Perpu;
4)
Keputusan Presiden;
5)
Peraturan Pelaksanan Lainnya:
a)
Instruksi
Menteri;
b) dan lain-lain.
c.
Masa Orde Reformasi
Pada
tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari
jabatanya sebagai presiden RI, peristiwa ini menandakan berakhirnya masa Orde
Baru sekaligus lahirnya era baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Masa
ini kemudian dikenal dengan sebutan Orde Reformasi. Keberhasilan reformasi
politik adalah dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945). Maka politik
hukum yang terpenting pada orde reformasi adalah diambilnya keputusan politik
untuk merubah UUD 1945.
Amandemen
UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak 4 kali, sejak tahun 1999-2002. Dengan
demikian komposisi UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut, disahkan
pada perubahan keempat oleh MPR pada sidang tahunan MPR tahun 2002.
[1] Mokhamad Najih
dan Soimin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Malang: Setara Press, hlm. 23.
[2] Mokhamad Najih
dan Soimin, op.cit., hlm. 28.
[3] Ibid., hlm. 32.
[4] Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),
hlm. 58.
[5] Mokhamad Najih
dan Soimin, op.cit., hlm. 38.
[6] Ibid., hlm. 39.