SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Pilar Kekuasaan di Indonesia

Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 175-180)


A.     Pilar Kekuasaan di Indonesia

Dalam pengajaran Pengantar Hukum Indonesia, istilah yang digunakan biasanya adalah “Hierarki Lembaga Negara”, bukan “Pilar Kekuasaan di Indonesia”.  Istilah ini penulis gunakan karena terinspirasi dari ungkapan yang disampaikan Mahfud MD di salah satu akun media sosialnya. Pada hakikatnya, penggunaan istilah pilar kekuasaan juga tidak terlalu keliru, bahkan benar dalam arti yang sesungguhnya menurut hukum. Hal itu karena lembaga-lembaga yang menjadi pilar kekuasaan tersebut memiliki kedudukan yang tinggi dan memiliki legitimasi sebagai penguasa di Indonesia.

Pilar kekuasaan di Indonesia mengalami perubahan, utamanya antara pra-amandemen UUD dan pasca-amandemen UUD. Saat pra-amandemen UUD, pilar kekuasaan di Indonesia berjumlah lima lembaga dibawah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dalam istilah Mahfud MD disebut sebagai panca-as politica, atau terjemahan bebasnya adalah lima pilar kekuasaan. Lima pilar kekuasaa pra-amandemen UUD dapat digambarkan sebagai berikut:



Gambar 13.1. Pilar Kekuasaan Pra-Amandemen

Dari gambaran diatas, ada beberapa singkatan yang penting pembaca ketahui. MPR adalah singkatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, MA adalah Mahkamah Agung, DPA adalah Dewan Pertimbangan Agung, dan BPK adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Lima pilar kekuasaan—yaitu Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA, memiliki kekuasaan yang setingkat dibawah MPR. Itu artinya, kedudukan Presiden setingkat dengan Ketua DPR, setingkat pula dengan Ketua BPK, setingkat juga dengan Ketua DPA, dan Setingkat dengan Ketua MA. Presiden hanyalah pemimpin pemerintahan, bukan pemimpin negara. Jika pun Presiden disebut sebagai pemimpin negara, itu hanya sebagai simbol saja, bukan pemimpin negara dalam arti yang sesungguhnya.

Adapun setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, maka pilar kekuasaan di Indonesia pun berubah sangat besar. Dari yang semula lima pilar kekuasaan (panca as politica), berubah menjadi delapan pilar kekuasaan (hasta as politica). Dari yang sebelumnya dibawah kekuasaan MPR, berubah menjadi dibawah konstitusi UUD. Penggambaran pilar kekuasaan pasca-amandemen UUD dapat dijelaskan dibawah ini:



Gambar 13.2. Pilar Kekuasaan Pasca-Amandemen

 

Dari gambaran diatas, dapat dijelaskan beberapa singkatan. MPR adalah singkatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah, MA adalah Mahkamah Agung, MK adalah Mahkamah Konstitusi, KY adalah Komisi Yudisial, dan BPK adalah Badan Pemeriksa Keuangan.

Penggunaan istilah panca-as politica untuk pilar kekuasaan pra-amandemen dan istilah hasta-as politica untuk pilar kekuasaan pasca-amandemen dikenalkan oleh Mahfud MD. Dalam hal ini penulis menyepakati penggunaan istilah tersebut dan layak untuk dikenalkan lebih luas. Teori Montesquieu yang membagi pilar kekuasaan hanya menjadi 3 yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pada prinsipnya tidak pernah dianut di Indonesia sejak negeri ini merdeka.

Dalam konsep civil law system sejak era 1600-an, terdapat doktrin bahwa hukum dibentuk oleh suatu lembaga legislatif dan ditegakkan oleh lembaga eksekutif. Adapun proses peradilannya akan ditangani oleh suatu lembaga independen yakni yudikatif. Konsep ini sering disebut sebagai trias politica. Doktrin ini pertama kali dicetuskan oleh Montesquieu. Sejak saat itulah, civil law system juga identik dengan konsep trias politica.

Montesquieu paling dikenal dengan ajaran trias politica (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga), yakni: lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga eksekutif (pelaksana dari undang-undang), dan lembaga yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang). Trias politica menurut montesquieu, adalah sebagai berikut:[1]

1.      Legislatif: merupakan lembaga yang dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan raja atau presiden. Lembaga legislatif yang merupakan wakil dari rakyat ini diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang dan menetapkannya. Tidak hanya itu, lembaga ini juga diberikan hak untuk meminta keterangan kebijakan lembaga eksekutif yang akan dilaksanakan maupun yang sedang dilaksanakan. Selain meminta keterangan kepada lembaga eksekutif, lembaga ini juga mempunyai hak untuk menyelidiki sendiri dengan membentuk panitia penyelidik. Hak mosi tidak percaya juga dimiliki oleh lembaga ini. Hak ini merupakan hak yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.

2.  Eksekutif: merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang. Lembaga eksekutif dipimpin oleh seorang raja atau presiden beserta kabinetnya. Tidak hanya melaksanakan undang-undang, lembaga ini juga mempunyai beberapa kewenangan. Menurut Miriam Budiardjo, lembaga eksekutif mempunyai kewenangan diplomatik, yudikatif, administratif, legislatif, dan militer. Kewenangan diplomatik yaitu kewenangan menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Kewenangan yudikatif adalah kewenangan memberikan grasi dan amnesti kepada warga negaranya yang melakukan pelanggaran hukum. Kewenangan administratif adalah kewenangan melaksanakan peraturan dan perundang-undangan dalam administrasi negara. Melalui kewenangan legislatifnya, seorang presiden atau menteri dapat membuat undang-undang bersama dewan perwakilan. Lembaga eksekutif juga mempunyai kewenangan mengatur angkatan bersenjata, menyatakan perang apabila dibutuhkan, dan menjaga keamanan negara.

3.      Yudikatif: mempunyai kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Lembaga yudikatif dibentuk sebagai alat penegakan hukum, hak penguji material, penyelesaian perselisihan, hak mengesahkan peraturan hukum atau membatalkan peraturan apabila bertentangan dengan dasar negara.

Dari uraian teori Monteequieu diatas, sejak era kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia tidak pernah benar-benar menganut teori tersebut. Terlihat lah sudah sangat ketinggalan zaman jika ada praktisi hukum atau akademisi hukum yang masih menganggap bahwa negeri ini dibangun diatas 3 pilar kekuasaan sebagaimana dijelaskan dalam teori Montesquieu. Teori tersebut pada kenyataannya hanya dijadikan sebagai inspirasi, tidak diikuti secara penuh oleh Indonesia.

Sebagai contoh, jika merujuk pada pilar kekuasaan Indonesia pra-amandemen, terlihat ada beberapa lembaga negara yang tidak masuk kategori legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sebut saja lembaga tersebut adalah BPK dan DPA. Keduanya secara teori Montesquieu, tidak bisa dikategorikan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Pun demikian bagi pilar kekuasaan pasca-amandemen. Ada beberapa pilar kekuasaan yang tidak bisa teridentifikasi masuk dalam definisi trias politica. Sebut saja DPD, KY, dan BPK. Ketiga lembaga negara tersebut tidak bisa dijelaskan dalam sudut pandang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Adapun beberapa lembaga negara diluar dari delapan pilar kekuasaan sebagaimana telah penulis jelaskan diatas, merupakan elemen bawah dan bukan bagian dari penguasa di negeri ini. Misalnya, dibawah kekuasaan eksekutif Presiden, terdapat beberapa lembaga, sebut saja kementerian sebagai pembantu presiden, kepolisian (POLRI), tentara (TNI), intelijen (BIN), kejaksaan, dan beberapa lembaga lainnya.

Kemudian, ada pula lembaga atau institusi negara lainnya yang tidak termasuk dalam delapan pilar kekuasaan, misalnya Bank Indonesia, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Penyiaran Indonesia, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),[2] dan institusi lainnya. Lembaga-lembaga yang barusan penulis sampaikan tersebut, tidak berada di bawah salah satu dari delapan pilar kekuasaan, namun berdiri sendiri dan biasa disebut sebagai lembaga independen.

Terakhir, lembaga-lembaga tingkat daerah tidak selalu merupakan bawahan dari lembaga di tingkat nasional atau pusat. Misalnya DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) bukanlah bawahan dari DPR RI. Begitupun gubernur dan bupati, bukanlah bawahan dari Presiden. Sehingga Presiden misalnya, tidak bisa melakukan pemecatan terhadap gubernur maupun bupati. Jika pun Presiden memberikan instruksi kepada gubernur dan bupati, itu sifatnya hanya koordinasi, bukan suatu suruhan yang sifatnya atasan-bawahan.



[1] Dwi Budi Windyastuti, Hand Out materi pada mata kuliah Pemikiran Politik Barat, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga.

[2] Khusus untuk KPK ini, masih dalam perdebatan. Sebagian mengatakan bahwa KPK adalah lembaga independen, sebagian lainnya menempatkan KPK berada dibawah keekuasaan eksekutif Presiden.