Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 180-184)
A.
Susunan dan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman
dalam sudut pandang Montesquieu masuk dalam kategori kekuasaan yudikatif,
dimana tugasnya adalah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Di Indonesia sendiri, terjadi perubahan skema atau susunan
kekuasaan kehakiman, antara pra-amandemen dan pasca-amandemen UUD.
Kedudukan hakim saat pra-amandemen berada di bawah dua kekuasaan sekaligus, yakni dibawah kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Hakim disatu sisi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dalam hal fungsi, sementara dalam hal administratif hakim berada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman yang notabennya berada di bawah kekuasaan eksekutif Presiden.
Itulah mengapa, saat
era pra-amandemen, kedudukan hakim bisa diberhentikan secara sepihak oleh
menteri atau presiden. Ini tentu yang dikritik oleh banyak sarjanawan hukum
saat itu, karena itu berarti proses peradilan bisa diintervensi oleh kekuasaan
eksekutif. Hal yang tentu bertentangan dengan semangat demokrasi dan penegakan
hukum.
Hakim tidak bisa
secara idealis membertahankan independensinya dalam memutus suatu sengketa,
karena jika dalam menghadapi kasus-kasus tertentu yang salah satu pihaknya
melibatkan keluarga dari pemegang kekuasaan, maka hakim tidak bisa bersikap
objektif. Sogokan dan suap serta teror untuk diberhentikan, akan menghantui
kinerja hakim yang implikasinya putusan hakim jelas tidak akan mencerminkan
nilai keadilan.
Susunan kekuasaan
kehakiman di era pra-amandemen, dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 13.3.
Kekuasaan Kehakiman Pra-Amandemen
Dari gambar diatas,
terlihat bahwa posisi badan peradilan di Indonesia saat itu berada dibawah dua
pilar kekuasaan, yakni dibawah Mahkamah Agung sekaligus dibawah eksekutif
Presiden via Departemen Kehakiman.
Badan beradilan dibawah Mahkamah Agung dalam hal fungsi hukum, maksudnya sama
seperti era sekarang, bahwa fungsi dari badan peradilan tetap harus menginduk
ke Mahkamah Agung. Bahwa jika ada upaya hukum lanjutan berupa kasasi, dari
badan peradilan itu akan diajukan upaya hukumnya ke Mahkamah Agung.
Adapun badan
peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Presiden adalah dalam segi
administrasi kelembagaan. Ini yang paling banyak dikritik, karena itu berarti
dalam penegakan hukum di Indonesia bisa diintervensi oleh kekuatan eksekutif
yang notabennya merupakan kekuatan politik. Hakim-hakim yang dianggap bandel oleh penguasa juga bisa dengan
mudah diberhentikan.
Sementara di era
pasca-amandemen UUD, susunan kekuasaan kehakiman berubah sedemikian baik. Bahwa
posisi badan peradilan dan hakim hanya berada di bawah Mahkamah Agung, baik
dalam segi fungsi maupun administrasi kelembagaan. Ini tentu jauh lebih fair, karena hakim tidak bisa
diintervensi oleh kekuatan poltik.
Susunan badan
peradilan pasca-amandemen akhirnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 13.4.
Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen
Disini perlu juga
dipahami, bahwa sejak diamandemennya UUD 1945, muncul pilar-pilar kekuasaan
baru setingkat Presiden dan Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. Dalam sudut pandang teori Montesquieu, yang masuk dalam
kategori kekuasaan yudikatif hanyalah MA dan MK, tidak termasuk didalamnya KY
atau Komisi Yudisial. KY bukan bagian dari kekuasaan yudikatif karena fungsinya
bukan memutus suatu problematika hukum. KY hanya berwenang untuk mengawasi
kinerja hakim.
Sementara itu, di
dalam Badan Peradilan sendiri, terdapat tingkatan-tingkatan yang lebih teknis,
baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, badan peradilan
dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu peradilan tingkat pertama, peradilan
tingkat kedua atau banding, dan peradilan tingkat kasasi. Peradilan tingkat
pertama adalah peradilan paling bawah yang memutus fakta hukum, biasanya
berbentuk suatu lembaga pengadilan di tingkat kabupaten/kota. Sementara
peradilan tingkat banding berbentuk suatu lembaga pengadilan di tingkat
provinsi, dan peradilan tingkat kasasi yaitu Mahkamah Agung yang letaknya di
ibu kota negara.
Peradilan tingkat
pertama dan kedua sering disebut sebagai judex
factie, yakni proses peradilan yang memutus berdasarkan fakta-fakta hukum
yang dihadirkan dimuka hakim. Sementara peradilan tingkat kasasi atau Mahkamah
Agung biasa disebut sebagai judex juris,
yakni peradilan yang hanya mengevaluasi apakah penerapan hukum yang dilakukan
oleh hakim ditingkat pertama dan tingkat banding sudah betul atau tidak.
Adapun susunan badan
peradilan secara horizontal, secara umum dibagi ke dalam 4 jenis peradilan,
yaitu:
1.
Pengadilan Negeri;
2.
Pengadilan Agama;
3.
Pengadilan Tata
Usaha Negara;
4.
Pengadilan Militer.
Untuk membedakan
tugas dan wewenang dari masing lembaga pengadilan tersebut, ditentukan yang
namanya kompetensi absolut pengadilan dan kompetensi relatif pengadilan.
Kompetensi absolut pengadilan maksudnya adalah kewenangan dari suatu lembaga
pengadilan tersebut ditentukan oleh jenis yang sudah diatur oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kompetensi absolut
dari Pengadilan Negeri adalah memutus perkara-perkara pidana non-militer
(artinya yang melakukan pelanggaran pidana adalah rakyat sipil), dan memutus
juga perkara-perkara perdata selain yang diatur dalam hukum Islam. Contohnya
adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh warga sipil, atau gugatan perdata
karena wanprestasi dalam perjanjian jual beli, maka diajukannya ke Pengadilan
Negeri.
Adapun kompetensi
absolut dari Pengadilan Agama adalah memeriksa perkara-perkara perdata yang
diatur dalam hukum Islam, misalnya masalah perkawinan Islam, wakaf, hibah,
warisan, dan perbankan syariah serta ekonomi syariah. Contohnya jika ada suami
istri yang sama-sama beragama Islam hendak melakukan perceraian, maka
diajukannya ke Pengadilan Agama.
Sementara kompetensi
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa kasus-kasus yang berhubungan
dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Misalnya seorang Aparatur Sipil
Negara (ASN) diberhentikan oleh atasannya. Surat pemberhentian dari atasan
tersebut dalam sudut pandang hukum administrasi negara disebut sebagai KTUN.
Maka ASN tadi yang diberhentikan, jika berkeberatan dengan pemberhentian
tersebut, mlayangkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Terakhir, kompetensi
absolut dari Pengadilan Militer adalah memeriksa kasus-kasus pidana yang
dilakukan oleh para prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Misalnya ada
suatu kasus pembunuhan, dimana pelaku pembunuhan tersebut adalah anggota TNI,
maka badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa kasus tersebut adalah
Pengadilan Militer.
Selain kompetensi
absolut, dikenal juga kompetensi relatif. Kompetensi relatif menyangkut
menganai kewenangan pengadilan dalam suatu radius wilayah tertentu. Misalnya si
A yang orang Bandung ingin mengajukan gugatan kepada si B yang sama-sama orang
Bandung, maka pengadilan yang berhak memeriksa sengketa tersebut adalah
Pengadilan Negeri Bandung, bukan Pengadilan Negeri di daerah lain. Pun demikian
jika terjadi kasus pembunuhan di wilayah Cirebon, maka pengadilan yang berhak
memeriksa kasus tersebut adalah Pengadilan Negeri Cirebon.
Susunan peradilan
yang sekarang berlaku di Indonesia dapat dengan mudah digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 13.5. Lembaga
Peradilan di Indonesia
Dari gambar
tersebut, MA merupakan singkatan dari Mahkamah Agung yang merupakan peradilan
kasasi yang hanya ada di ibu kota negara. Sementara PTN merupakan singkatan
dari Pengadilan Tinggi Negeri yang merupakan pengadilan tingkat banding dari PN
atau Pengadilan Negeri.
PTA adalah
Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tingkat kedua dari PA atau
Pengadilan Agama. PTTUN adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
merupakan peradilan lanjutan dari PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara. Terakhir,
PMT adalah Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan peradilan banding dari PM
atau Pengadilan Militer.