Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 185-186)
A.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Adapun jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1.
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
7.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan hierarki tersebut dan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[1]
Jenis peraturan
perundang-undangan selain yang dimaksud di atas juga bisa beerlaku sebagai
dasar hukum yang mengikat, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:[2]
1.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2.
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR);
3.
Dewan Perwakilan
Daerah (DPD);
4.
Mahkamah Agung (MA);
5.
Mahkamah Konstitusi
(MK);
6.
Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK);
7.
Komisi Yudisial
(KY);
8.
Bank Indonesia (BI);
9.
Menteri;
10.
Badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas
perintah UU, misalnya Peraturan dari Bank Indonesia;
11.
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
12.
Gubernur,
bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Peraturan
perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[3]
Adapun jika ada
orang yang berkeberatan dengan suatu produk undang-undang tertentu, maka orang
tersebut bisa melakukan upaya judicial
review (uji materi) undang-undang tersebut kepada UUD NRI 1945, diajukan ke
Mahkamah Konstitusi. Namun jika yang hendak di judicial review adalah peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang, misalnya ingin melakukan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah,
maka diajukannya tidak ke Mahkamah Konstitusi, tapi ke Mahkamah Agung.
[1] Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 dan
penjelasannya.
[2] Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.
[3] Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011.