Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 46-49)
A.
Teori Positivis (Kepastian Hukum)
Berbeda dengan kedua teori sebelumnya, teori positivis ini lebih mementingkan akan lahirnya sebuah kepastian hukum. Menurut teori ini, suatu hukum yang telah dibuat, harus ditaati secara keseluruhan, tanpa melihat realita dalam masyarakat. Ketika ada sebuah hukum yang secara redaksi tidak cocok dengan kehidupan nyata di masyarakat, maka teori ini akan tetap berpegang teguh terhadap hukum yang telah dibuat, walau itu tidak adil sama sekali.
Awalnya, kepastian
hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan
dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk
mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Kata ”kepastian”
berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat
disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan
hukum positif ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret
menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat
diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga
semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat
menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada
ketertiban.[1]
Kepastian hukum akan
menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki
ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila
Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum.
Kepastian hukum merupakan sesuatu yang bersifat normatif baik ketentuan maupun
putusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang
dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan
masyarakat.[2]
Kepastian hukum
merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian
aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.[3]
Gustav Radbruch
mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian
hukum, yaitu : Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif
itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta,
artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan
cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping
mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah. Pendapat
Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum
adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk
dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya
tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur
kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun
hukum positif itu kurang adil.
Selanjutnya
Kepastian hukum adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan
adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai
wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa
dijawab secara normatif, bukan sosiologi.[4]
Dari tiga teori
sebagaimana dijelaskan diatas tersebut, kita tidak bisa melihat tujuan hukum
hanya pada satu teori saja. Harus ada penggabungan teori untuk menjelaskan
tujuan hukum secara objektif. Maka inisiatif yang paling baik dari lahirnya
tiga buah teori diatas, harus kita gabungkan ketiga-tiganya sebagai suatu
tujuan hukum yang dicita-citakan masyarakat. Kesimpulannya jelas, bahwa tujuan
hukum adalah menciptakan keadilan di masyarakat, menumbuhkan kemanfaatan bagi
masyarakat, dan lahirnya sebuah kepastian hukum untuk masyarakat.
[1] Sidharta Arief, 2007, Meuwissen Tentang
Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 8.
[2] Nur Agus Susanto, Dimensi Aksiologis Dari Putusan Kasus “ST” Kajian Putusan Peninjauan
Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember
2014.
[3] “Apa itu Kepastian Hukum”, http://yancearizona.net, diakses pada tanggal 9
Februari 2021, pukul 14:57 WIT.
[4] Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari:
Memahami dan Memahami Hukum,
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hlm. 59.