SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Antinomi dalam Hukum

Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 49-50)


A.     Antinomi dalam Hukum

Dalam literatur-literatur klasik dikemukakan antinomi antara kepastian hukum dan keadilan.[1] Menurut literatur-literatur tersebut, kedua hal itu tidak dapat diwujudkan sekaligus dalam situasi yang bersamaan. Oleh karena itulah, dalam hal ini menurut literatur-literatur itu hukum bersifat kompromi, yaitu dengan mengorbankan keadilan untuk mencapai kepastian hukum.[2]

Dalam menghadapi antinomi tersebut peran praktisi hukum sangat diperlukan. Peranan tersebut akan terlihat pada saat praktisi hukum dihadapkan kepada persoalan yang konkret. Disitu, praktisi hukum harus mampu untuk melakukan pilihan mana yang harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan. Adapun yang menjadi acuan dalam hal ini adalah moral. Jika kepastian hukum yang dikedepankan, praktisi hukum harus pandai-pandai memberikan interpretasi terhadap undang-undang yang ada. Tanpa memberikan interpretasi yang tepat, akan berlaku lex dura sed tamen scripta yang berarti ‘undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya’.[3]

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam hal melakukan tindakan kemanusiaan dan mempunyai kemaslahatan, pemerintah dapat melakukannya tanpa perlu adanya aturan atau bahkan mungkin menyimpangi prosedur baku. Dalam hal demikian kepastian hukum dapat dikorbankan. Begitu pula pengadilan, dengan berlandaskan moral ia dapat menjatuhkan putusan yang berbeda untuk kasus serupa yang sudah diputus oleh pengadilan terdahulu jika pengadilan itu menimbang baha putusan pengadilan terdahulu tersebut secara moral perlu diperbaiki.[4]

Betapa pun, tujuan hukum adalah untuk menciptakan damai sejahtera dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itulah, perlu dirujuk pandangan Ulpianus yang menyatakan ‘iuris praecepta sunt haec honeste vivere, alterum non-laedere, suum cuique tribuere’, yang secara sederhana dapat diterjemahkan menjadi ‘perintah hukum adalah hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia, dan setiap orang mendapat bagiannya’.[5]



[1] Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 139.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.