SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Hukum Acara Pidana

 Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 189-196)


A.     Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana adalah bagian hukum formil yang dirancang untuk menjaga kaidah-kaidah dalam hukum pidana. Landasan hukum tentang hukum acara pidana dapat kita rujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

1.      Pihak Hukum Acara Pidana

Beberapa pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana antara lain:

a.       Penyelidik dan Penyidik

Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Adapun wewenang penyelidik adalah:

1)      Menerima laporan/ pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2)      Mencari keterangan barang bukti;

3)      Memeriksa seseorang yang dicurigai;

4)      Mengadakan tindakan lain menurut hukum.

Sementara istilah penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Wewenang penyidik adalah:

1)      Menerima laporan/ pengaduan dari sesorang tentang adanya tindak pidana;

2)      Melakukan tindakan pertama di TKP;

3)      Memeriksa seseorang yang dicurigai;

4)      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

5)      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6)      Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7)      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8)      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

9)      Mengadakan penghentian penyidikan;

10)  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b.      Jaksa dan Penuntut Umum

Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

c.       Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

d.      Tersangka, Terdakwa dan Terpidana

Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 13 KUHAP). Sementara Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Dan Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan hukum tetap (Pasal 1 angka 32 KUHAP).

Adapun hak-hak tersangka atau terdakwa antara lain:[1]

1)      Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (pasal 50 ayat (1), (2), dan (3));

2)      Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (pasal 51 butir a dan b);

3)      Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut di muka (pasal 52);

4)      Hak untuk mendapat juru bahasa (pasal 52 ayat (1));

5)      Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54);

6)      Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma;

7)      Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (pasal 57 ayat (2));

8)      Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang ditahan (pasal 58);

9)      Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga (pasal 59 dan 60);

10)  Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (pasal 61);

11)  Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat dengan penasihat hukumnya (pasal 62);

12)  Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (pasal 63);

13)  Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (pasal 65);

14)  Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (pasal 68);

15)  Hak terdakwa untuk menuntut terhadap hakim yang mengadili perkaranya (pasal 27 ayat (1), UU Pokok Kekuasaan Kehakiman).

a.       Saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

2.      Proses Hukum Acara Pidana

Beberapa proses awal dalam hukum acara pidana dari sebelum dilimpahkan ke kejaksaan, yaitu:

a.       Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagi tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Sementara istilah penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

b.      Penangkapan dan Penahanan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan, penuntutan, atau peradilan menurut ketentuan undang-undang. Sementara penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya.

Adapun beberapa syarat penahanan yaitu:

1)      Syarat Subjektif (Pasal 21 ayat 1), meliputi:

a)      Kekhawatiran tersangka/ terdakwa akan melarikan diri;

b)      Kekhawatiran tersangka/ terdakwa merusak/ menghilangkan barang bukti;

c)      kekhawatiran tersangka/ terdakwa mengulangi perbuatannya kembali.

2)      Syarat Objektif, meliputi:

a)      Tindak pidana yang dilakukan diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih;

b)      Kurang dari 5 tahun akan tetapi dikecualikan oleh undang-undang pasal 21 ayat (4) KUHAP.

c.       Proses Penuntutan oleh Kejaksaan

Setelah pemeriksaan di tingkat kepolisian/ penyidik dirasa lengkap, kasus dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses penuntutan. Pelimpahan perkara dilengkapi dengan berkas perkara, tersangka dan alat bukti lainnya. Apabila dalam waktu 7 hari tidak ada pemberitahuan dari kejaksaan, maka berkas dinyatakan p-21 dan siap dilakukan penuntutan. Akan tetapi jika berkas dirasa kurang lengkap, maka berkas dikembalikan dengan dilengkapi saran tentang kekurangan. Penyidik diberikan waktu selama 14 hari untuk melengkapi berkas, jika melewati batas waktu itu, penyidikan dapat dihentikan.

d.      Penyusunan Surat Dakwaan

Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan.

Adapun proses penyusunan surat dakwaan antara lain:

1)      Voeging. Voeging adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan, dan dapat dilakukan jika (Pasal 141 KUHAP):

a)      Beberapa tindak pidana;

b)      Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang atau lebih;

c)      Belum diperiksa dan akan diperiksa bersama.

2)      Splitsing. Selain penggabungan perkara, Penuntut Umum (PU) juga memiliki hak untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan PU.

3.      Acara Pemeriksaan

Jenis-jenis acara pemeriksaan antara lain:

a.       Acara pemeriksaan biasa (152-202 KUHAP)

b.      Acara pemeriksan singkat/ sumir (203 KUHAP), kategorinya untuk perkara pelanggaran non pasal 205 KUHAP.

c.       Acara pemeriksan cepat/ roll biasanya berhubungan dengan tindak pidana ringan dan pelanggaran lalu lintas (205 KUHAP). Perbedaan mendasar antara acara pemeriksaan singkat dan cepat adalah untuk acara pemeriksaan singkat tetap menggunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sedangkan acara pemeriksaan cepat langsung penyidik dengan hakim tunggal.

4.      Alat Bukti

Macam-macam alat bukti yaitu:

a.       Keterangan saksi. Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali yang memang dikecualikan oleh undang-undang. Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana (penjelasan pasal 159 (2) KUHAP).

b.      Keterangan ahli. Keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan (186 KUHAP). Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat (visum et repertum yang dijelaskan oleh seorang ahli).

c.       Surat. Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah:

1)      Berita acara dan surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat umum;

2)      Surat keterangan dari seorang ahli;

3)      Surat lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana.

b.      Petunjuk. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya

c.       Keterangan terdakwa. (188 KUHAP)

5.      Putusan Hakim

Jenis-jenis putusan hakim dalam acara pidana memuat:

a.       Putusan bebas (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP, berupa:

1)      Tidak terbukti adanya kesalahan;

2)      Tidak adanya 2 alat bukti;

3)      Tidak adanya keyakinan hakim;

4)      Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana.

b.      Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle) pasal 191 (2) KUHAP, berupa:

1)      Terbukti tetapi bukan tindak pidana;

2)      Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat.

c.       Putusan pemidanaan. Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana.

6.      Upaya Hukum

Ada beberapa upaya hukum yang bisa ditempuh, yaitu:

a.       Upaya Hukum Biasa, memuat:

1)      Banding atau upaya hukum terhadap putusan pemidanaan. Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya atau oleh PU karena tidak puas dengan putusan pengadilan negeri. Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai alasan pengajuan banding. Adapun pengecualian dalam banding adalah:

a)      Putusan bebas;

b)      Lepas dari segala tuntutan hukum berkenaan dengan kurang tepatnya penerapan hukum;

c)      Putusan dalam acara cepat.

2)      Kasasi. Ada tiga alasan pengajuan kasasi, yaitu:

a)      Terdapat kelalaian dalam hukum acara (vormverzuim);

b)      Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan;

c)      Tidak melaksanakan cara melakukan peradilan sesuai undang-undang.

b.      Upaya Hukum Luar Biasa, memuat:

1)      Kasasi demi kepentingan hukum. Kasasi demi kepentingan hukum hanya diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum dan tidak merugikan pihak manapun. (259 KUHAP).

2)      Peninjauan Kembali (PK). Permintaan PK dapat dilakukan dengan dasar alasan sebagai berikut:

a)      Keadaan baru (novum) yang seandainya keadaan itu diketahui pada saat sidang berlangsung dapat menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau meringankan terdakwa;

b)      Adanya pertentangan alasan antara putusan satu dengan yang lainnya;

c)      Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.



[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 69.