Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 197-207)
A.
Pengantar Hukum
Perdata
Hukum perdata
adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang/badan hukum yang satu
dengan orang/badan hukum yang lain di dalam masyarakat dengan menitik beratkan
pada kepentingan perseorangan (pribadi).
Hukum perdata dalam arti luas adalah bahan hukum sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-undag Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) serta sejumlah undang-undang tambahan lainnya yang berkaitan dengan persoalan personal. Menurut Subekti, hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Sementara hukum perdata dalam arti yang sempit hanya memiliki ruang lingkup dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) saja.[1]
Hukum perdata
dilihat dari fungsinya ada dua macam, yaitu :[2]
a)
Hukum Perdata
Materiil, yaitu aturan-aturan yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perdata, artinya mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum.
b)
Hukum Perdata
Formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum perdata
materiil.
Hak perdata
dibagi dua, antara lain:[3]
a)
Hak mutlak,
yang terdiri dari hak kepribadian (misalnya hak atas namanya, kehormatannya,
hak hidup, hak kemerdekaan); hak yang terletak dalam hukum keluarga, artinya
hak tersebut timbul karena adanya hubungan antara suami istri, hubungan antara
orang tua dan anak; hak benda, yaitu hak penguasaan terhadap benda.
b)
Hak relatif
(hak personal), yaitu suatu hak yang memberikan suatu tuntutan terhadap
seseorang dan hak itu hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja.
1.
Subjek Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak
dan kewajiban.[4] Intinya,
subjek hukum ini terdapat dua kategori, yaitu personal (individu) dan badan
hukum.
Badan Hukum dapat diketagorikan sebagai subjek hukum disebabkan
karena:[5]
a.
Badan hukum itu
memiliki kekayaan sendiri;
b.
Sebagai
pendukung hak dan kewajiban;
c.
Dapat menggugat
dan digugat di muka pengadilan;
d.
Ikut serta
dalam lalu lintas hukum.
2.
Hukum Benda
Aturan mengenai hukum benda terdapat dalam Buku Kedua KUH Perdata
tentang Hukum Benda. Sistem yang dianut dalam Buku Kedua tersebut adalah sistem
tertutup. Artinya disini adalah orang tidak dapat mengadakan/membuat hak-hak
kebendaan yang baru selain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hak
kebendaan yang diakui itu hanya hak-hak kebendaan yang sudah diatur oleh
undang-undang. Maka dari itu, kita tidak boleh mengadakan hak milik baru yang
tidak sama dengan hak milik yang sudah diatur oleh undang-undang.
Hal ini berbeda dengan sistem yang dianut dalam Buku Ketiga KUH
Perdata tentang hukum perikatan yang menggunakan sistem terbuka. Artinya setiap
orang dapat bebas membuat perjanjian apa saja selain apa yang telah ditetapkan
oleh undang-undang, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
Pengertian benda dalam KUH Perdata Pasal 499 berbunyi sebagai
berikut:
Menurut paham undang-undang yang
dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik.
Hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu
memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan
terhadap siapapun juga.
Klasifikasi benda dapat kita kategorikan menjad beberapa macam,
tiga diantaranya diatur langsung oleh KUH Perdata, yaitu:
a.
Benda berwujud
dan tidak berwujud
Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh (Pasal
503). Contoh benda berwujud adalah mobil, rumah, sepeda motor, dll. Sementara
contoh benda tidak berwujud adalah pulsa hp, pulsa listrik, akun game online,
dll.
b. Benda bergerak dan tidak bergerak
Tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak (Pasal 504).
Contoh benda bergerak adalah mobil, sepeda motor, sepeda ontel, perahu, dll.
Contoh benda tidak bergerak adalah tanah, televisi, dll.
c. Benda yang dipakai habis dan tidak dipakai habis
Tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tak dapat
dihabiskan (Pasal 505). Contoh benda dapat dihabiskan adalah beras, gandum,
minyak, air, dll. Contoh benda tidak dapat dihabiskan adalah mobil, rumah,
sepeda motor, dll.
Sementara itu, selain klasifikasi yang tercantum dalam KUH Perdata
diatas, ada beberapa klasifikasi lain yang dibuat oleh ahli hukum dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu :
a. Benda yang ada dan yang akan ada
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan
hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan
jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan benda
tersebut. Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan
perjanjian yang objeknya benda akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya
itu tidak mungkin dapat dilaksanakan (Pasal 1320 butir 3 BW).
b. Benda perdagangan dan bukan perdagangan
Arti penting dari pembedaan ini terletak pada pemindah tanganan
benda tersebut karena jual beli atau karena warisan. Benda perdagangan dapat
diperjual belikan, seperti buku, mobil, televisi, dll. Benda bukan perdagangan
tidak dapat diperjual belikan, misalnya tanah wakaf, narkotika dan benda yang
dilarang hukum.
c. Benda dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Letak pembedaannya menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi
suatu perjanjian. Benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan perjanjian dapat
bertahap, misalnya perjanjian memberikan satu ton gandum dapat dilakukan dalam
beberapa kali pengiriman. Benda yang tidak dapat dibagi, pemenuhan perjanjian
harus utuh, seperti mobil.
Asas-asas umum hak kebendaan, antara lain:
a.
Asas sistem
tertutup, artinya bahwa hak-hak atas benda bersifat limitatif, terbatas hanya
pada yang diatur oleh undang-undang. Diluar itu perjanjian tidak diperkenankan
menciptakan hak-hak baru. Misalnya seorang mahasiswa tidak diperkenankan untuk
memiliki senjata api, karena tidak masuk dalam kategori orang yang boleh
memiliki senjata api.
b.
Asas zaaksgvolg,
yaitu hak kebendaan selalu mengikuti pemilik benda. Perlu ditekankan disini,
bahwa yang mengikuti pemilik benda adalah haknya, bukan bendanya. Misalnya
ketika kita memiliki sebuah handphone, lalu handphone tersebut
tertinggal di rumah sementara kita pergi ke kampus, maka hak handphone itu
masih tetap melekat pada diri kita walau benda tersebut tidak sedang berada di
sekitar kita.
c.
Asas
publisitas, yaitu adanya pengumuman kepada masyarakat mengenai status
kepemilikan. Atau setidak-tidaknya ada orang yang mengetahui bahwa suatu benda
tersebut adalah milik kita, walau secara formal tidak pernah kita umumkan di
depan khalayak ramai.
d.
Asas
spesialitas, yaitu adanya kejelasan mengenai benda yang ditunjukkan. Misalnya
hak kepemilikan atas tanah, harus ditunjukkan batas, luas tanah, serftifikat
tanah, dan lain sebagainya.
e.
Asas totalitas
dan asas pelekatan. Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H. dalam bukunya yang
berjudul Mencari Sistem Hukum Benda Nasional memisahkan antara asas
totalitas dan asas pelekatan ini menjadi dua poin yang berbeda. Tapi setelah penulis
mengkajinya, makna dari kedua asas ini tidak berbeda sama sekali, yakni
kepemilikan kita terhadap benda secara otomatis meliputi benda-benda secara
total atau bagian-bagian yang melekat pada benda tersebut. Misalnya ketika kita
memiliki sebuah rumah, maka secara otomatis hak kepemilikan kita juga meliputi
pintu rumah, jendela rumah, dan bagian-bagian yang melekat pada rumah tersebut.
Asas pelekatan ini dianut oleh KUH Perdata.
f.
Asas pemisahan
horizontal, yaitu asas yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Maksud
dari asas pemisahan horizontal disini adalah jika kita membeli hak atas tanah,
maka tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang terdapat di
atasnya. Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah,
maka harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli.
g.
Asas dapat
diserahkan, artinya hak kepemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan
benda. Ketika kita memiliki benda yang hendak dibeli oleh orang lain, maka kita
dapat menyerahkan benda yang dia beli secara sukarela.
h.
Asas
perlindungan, artinya orang yang memiliki hak atas benda memiliki hak untuk
melindungi benda yang dia miliki dari klaim orang lain.
i.
Asas pemaksa,
menurut asas ini hak kebendaan wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang.
3.
Bezit
Bezit menurut Prof.
Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Hukum Perdata
adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah
kepunyaan sendiri yang oleh hukum diperlindungi dengan tidak mempersoalkan hak
milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.[6]
Sementara unsur-unsur bezit ada dua, yaitu:
a.
Corpus, yaitu adanya
hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya. Hal ini bisa terjadi
karena jual beli atau pelimpahan benda dari satu orang ke orang lain.
b.
Animus, yaitu adanya
kemauan atau keinginan dari orang tersebut untuk menguasai benda itu serta
menikmatinya seolah-olah kepunyaan sendiri. Dari sini terlihat jelas, benda
yang sudah dibuang oleh seseorang, maka jelas orang tersebut bukan lagi menjadi
bezit dari benda yang dibuangnya.
4.
Hukum Keluarga
Dalam hukum
keluarga, penulis masukkan juga hukum perkawinan, karena terbentuknya
perkawinan menjadi pondasi penting dalam sebuah keluarga. Maka dari itu, hukum
perkawinan penulis masukkan dalam kategori hukum keluarga.
a. Hukum
Perkawinan
Perkawinan
ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. KUH Perdata hanya memandang perkawinan dalam hubungan
keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 BW. Dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa perkawinan akan sah manakala memenuhi syarat-syarat dalam BW dan
mengesampingkan syarat-syarat lainnya termasuk peraturan agama. Asas yang
berlaku dalam BW adalah asas monogami, artinya apabila ada seseorang yang
berpoligami, maka hal tersebut masuk dalam pelanggaran ketertiban umum dan
dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan dalam BW adalah:
1)
Kedua pihak telah cukup umur, yakni 18 tahun
untuk lelaki dan 15 tahun untuk perempuan;
2)
Harus ada persetujuan kedua belah pihak;
3)
Untuk perempuan yang pernah kawin maka harus
melewati terlebih dahulu 300 hari untuk dapat kawin lagi;
4)
Tidak ada larangan dalam UU bagi kedua pihak;
5)
Untuk pihak yang masih di bawah umur harus ada
izin dari orang tua atau walinya.
b.
Keturunan
Seorang anak
sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang
sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-sungguh anak sang
ayah tentunya sulit untuk ditentukan secara sederhana. Untuk mengatasi hal
tersebut KUH Perdata menetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama,
yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari.
Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya dihapuskan,
maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah. Namun jika seorang anak
dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah perkawinan orang tuanya, maka ayahnya
(suami) berhak menyangkal sahnya anak tersebut, kecuali jika sudah mengetahui
bahwa istrinya mengandung sebelum perkawinan berlangsung atau jika si ayah
(suami) hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan ditandatanganinya.
Anak yang lahir
di luar perkawinan dinamakan naturlijk kind. Ia dapat diakui atau tidak
diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem KUH Perdata dengan adanya
keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara
anak dengan orangtuanya. Barulah dengan pengakuan (erkenning) lahir
suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat diterimanya harta warisan dari orang
tua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan
keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada, kecuali apabila
telah dilakukannya pengesahan anak (wettiging) yang merupakan suatu
langkah lanjutan setelah pengakuan.
c. Hukum Waris
Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), prinsip dari pewarisan adalah harta waris
baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu
kematian (Pasal 830 BW) dan adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli
waris, kecuali untuk suami atau istri dari pewaris (Pasal 832 BW).
Apabila
dimasukkan dalam beberapa kategori, maka yang berhak mewarisi adalah:
1)
Golongan I yang terdiri dari suami/isteri yang
hidup terlama dan anak-anak serta cucu (keturunan) pewaris dalam hal anak
pewaris meninggal dunia (Pasal 852 BW).
2)
Golongan II adalah orang tua dan saudara kandung
dari pewaris termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris (Pasal 854 BW).
3)
Golongan III meliputi keluarga dalam garis
lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris, seperti kakek dan nenek.
4)
Golongan IV meliputi paman dan bibi pewaris
baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu; keturunan paman dan bibi sampai
derajat ke enam dihitung dari pewaris; saudara dari kakek dan nenek beserta
keturunannya sampai derajat ke enam di hitung dari pewaris.
5.
Hukum Perjanjian
Dalam Buku III
BW istilah yang dipergunakan adalah Perikatan. Istilah Perikatan mempunyai arti
yang lebih luas dari istilah Perjanjian. Dalam Perikatan diatur juga hubungan
hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian,
yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang
lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
Definisi
perikatan menurut BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu
dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan
itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi. Prestasi
menurut UU dapat berupa:
a.
Menyerahkan suatu barang;
b.
Melakukan suatu perbuatan;
c.
Tidak melakukan suatu perbuatan.
Adapun macam-macam
perikatan antara lain:
a.
Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang
digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari yang masih belum tentu akan
atau tidak terjadi.
b.
Perikatan yang digantungkan pada suatu
ketetapan waktu.
c.
Perikatan yang membolehkan memilih.
d.
Perikatan tanggung menanggung.
e.
Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak
dapat dibagi.
f.
Perikatan dengan penetapan hukuman.
Sementara itu,
hapusnya sebuah perikatan dapat disebabkan karena:
a.
Pembayaran;
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat;
c.
Pembaharuan hutang;
d.
Kempensasi atau perhitungan hutang timbal
balik;
e.
Percampuran hutang;
f.
Pembebasan hutang;
g.
Hapusnya barang yang dimaksud dalam perjanjian;
h.
Pembatalan perjanjian;
i.
Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;
j.
Lewat
waktu.
Beberapa
perjanjian khusus yang penting di bahas disini, yaitu:
a.
Perjanjian jual beli, yaitu suatu perjanjian
dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai
harganya.
b.
Perjanjian sewa-menyewa, yaitu suatu perjanjian
diaman pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai
selama suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan
membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang
ditentukan. Pihak penyewa memikul dua kewajiban pokok, yaitu:
c.
Pemberian atau hibah (schenking), yaitu
suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma dengan
secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya yang menerima
pemberian itu.
d.
Persekutuan (maatschap), yaitu suatu
perjanjian dimana beberapa orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam
lapangan ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh.
Persekutuan merupakan suatu bentuk kerjasama yang paling sederhana, bahkan
diperbolehkan seorang anggota hanya menyumbangkan tenaga saja. Untuk perjanjian
model ini tidak diperlukan adanya suatu akte. Perjanjian ini dikenal juga
dengan sebutan perjanjian consensueel yaitu perjanjian yang dianggap
sudah cukup jika ada kata sepakat.
e.
Penyuruhan (lastgeving), yaitu suatu
perjanjian dimana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain
untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
f.
Perjanjian pinjam, meliputi dua aspek, yaitu:
(1) perjanjian pinjam barang yang tidak dapat diganti, seperti peminjaman
mobil, motor dan lain-lain; (2) perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti,
seperti meminjam uang, beras dan lain-lain.
g.
Penangguhan hutang, yaitu suatu perjanjian
dimana satu pihak menyanggupi pada pihak lainnya, bahwa ia menanggung
pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.
h.
Perjanjian perdamaian, yaitu suatu perjanjian
dimana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam
perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya.
Perjanjian semacam ini harus tertulis.
i.
Perjanjian kerja, terbagi tiga macam, yaitu:
[1]
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata mengenai Hukum Perorangan dan Hukum
Benda, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 3.
[2] Ibid.,
hlm. 4.
[3] Ibid.,
hlm. 53.
[4] Ibid.,
hlm. 7.
[5] Ibid.,
hlm. 9.
[6] Ibid.,
hlm. 58.