Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 98-101)
A.
Hukum Berdasarkan Hubungan Hukum yang Diatur
1. Hukum Publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan warga negaranya.[1] Dalam perkembangannya, hukum publik ini mengerucut pada hukum pidana. Walau sebenarnya hal ini agak kurang tepat, karena pada dasarnya hukum ketatanegaraan juga merupakan bagian dari hukum publik. Namun pemberian istilah hukum publik sebagai hukum pidana tidak bisa dikesampingkan dalam kehidupan hukum ditengah-tengah masyarakat kita saat ini.
Van Hamel antara lain menyatakan bahwa
hukum pidana telah berkembang menjadi hukum publik, dimana pelaksanaannya
sepenuhnya berada dalam tangan negara, dengan sedikit pengecualian.
Pengecualiannya adalah terhadap delik-delik aduan (klacht-delicht) yang
memerlukan adanya suatu pengaduan (klacht) terlebih dahulu dari pihak
yang dirugikan agar negara dapat menerapkannya.
Maka hukum pidana pada saat sekarang
melihat kepentingan khusus para individu bukanlah masalah utama, namun titik
beratnya ialah kepentingan umum atau masyarakat. Hubungan antara pelaku dengan
korban bukanlah hubungan antara yang dirugikan dengan yang merugikan
sebagaimana dalam hukum perdata, namun hubungan itu ialah antara orang yang
bersalah dengan Pemerintah yang bertugas menjamin kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat sebagaimana ciri dari hukum publik.
Ada beberapa ciri-ciri dari hukum publik,
antara lain:
a. Negara bertindak untuk tujuan kepentingan umum;
b. Secara keseluruhan hukum publik ini diatur oleh penguasa atau
pemerintah yang sah dalam sebuah negara;
c. Merupakan hubungan yang mempertemukan antara kepentingan negara
dengan kepentingan individu;
d. Dalam beberapa jenis hukum publik, salah satunya hukum tata negara,
mengandung banyak muatan politis.
2. Hukum Privat
Hukum privat adalah suatu hukum yang
mengatur hubungan antar orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik
beratkan kepada kepentingan perorangan. Dalam arti yang luas, hukum privat
meliputi antara hukum perdata dan hukum dagang. Sedangkan jika dalam arti
sempit, hukum privat hanyalah terdiri dari hukum perdata saja. Definisi lain
hukum privat adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang yang lain.
Hukum perdata disebut juga dengan hukum
privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik
mengatur berbagai hal yang ada hubungannya dengan negara dan kepentingan umum
(seperti misalnya politik dan pemilu), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau hukum tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka
hukum privat (perdata) mengatur hubungan antara warga negara dengan warga
negara yang lain dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, kegiatan usaha, harta benda dan berbagai macam
tindakan yang sifatnya perdata.
Hukum privat ini juga biasa disebut
sebagai hukum sipil. Dalam bahasa Belanda, istilah hukum sipil adalah Privatatrecht
atau Civilrecht. Sementara untuk hukum perdata, bahasa Belanda nya
adalah Burgerlijkerecht dan hukum dagang adalah Handelsrecht.
Hukum privat mencakup beberapa hal
berikut, yaitu:
a. Hukum perorangan
yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum
dan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak untuk bertindak sendiri
melaksanakan hak-hak nya tersebut.
b. Hukum keluarga yaitu hukum yang memuat aturan tentang perkawinan
beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami istri, tentang
hubungan orang tua, anak, perwalian, dan pengampuan.
c. Hukum harta kekayaan yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum yang
dapat dinilaikan dengan uang. Hukum ini meliputi hak mutlak (hak-hak yang
berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak tertentu).
d. Hukum waris yaitu hukum yang mengatur tentang benda/kekayaan
seseorang yang sudah meninggal.
e. Hukum dagang yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan antara
produsen dan konsumen dalam jual beli barang dan jasa.
Secara sederhana, hukum privat ini
mengatur tentang hubungan dalam masyarakat yang menyangkut keluarga dan
kekayaan para warga/individu; hubungan antarwarga/ individu; dan hubungan
antara individu dengan alat negara, sejauh alat negara tersebut di dalam lalu
lintas hukum berkedudukan sebagai individu. Hukum privat mengatur tentang
hubungan antara warga negara yang memiliki kebebasan membuat kontrak. Dalam
hukum privat, asas pokok otonomi warga negara adalah milik pribadi. Warga
negara mempertahankan hak oleh mereka sendiri tapi terikat pada prosedur yang
telah ditetapkan dan pemerintah sebagai pengawas.
Dalam perkembangannya saat ini, ada
beberapa pihak tertentu yang mempertanyakan pentingnya klasifikasi hukum
menjadi publik dan privat. Pada saat ini, terdapat hukum yang secara
substansial mengandung elemen hukum publik maupun hukum privat, seperti hukum
lingkungan, hukum perlindungan konsumen, hukum kesehatan, hukum antimonopoli,
dan lain-lain. Oleh karena itu, timbul pemikiran bahwa sebaiknya ditinggalkan
saja pembagian hukum publik dan hukum privat dan beralih kepada pembagian yang
bersifat fungsional.[2]
Bagi penulis, pemikiran tersebut
bukan lah suatu kesimpulan yang bijak, karena walau bagaimanapun hubungan
antara negara dan individu tidak bisa dicampur aduk. Harus dijelaskan lebih
rinci bagian mana saja yang bisa melibatkan negara, dan bagian mana saja yang
hanya menyangkut perseorangan. Maka jelas disini, pembagian hukum menjadi hukum
publik dan hukum privat akan terlihat sangat dibutuhkan.
Bahkan dalam kajian hukum
internasional, klaster hukum dagang internasional masuk dikategorikan sebagai
hukum publik. Hukum dagang di Indonesia merupakan hukum privat, namun hukum
dagang internasional merupakan hukum publik. Hal ini terjadi karena subjek
hukum dalam hukum dagang internasional adalah negara. Lain lagi dengan hukum
perdata inteernasional yang masih tetap dalam jenis hukum privat, karena
mengatur hubungan hukum antar warga negara.
[1] C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar
Ilmu Hukum, Jakarta: Balai
Pustaka, hlm. 46.
[2] Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm.
198.