SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Menurut Hukum

Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 73-76)


A.     Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Menurut Hukum

Kecakapan atau cakap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi sanggup melakukan sesuatu; mampu; dapat; mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan sesuatu.[1] Adapun secara umum, faktor-faktor yang mempengarui kecapakan :

  1. Aspek Psikologis
  2. Aspek Fisiologis
  3. Aspek Lingkungan

Kecakapan  seseorang  bertindak  di  dalam  hukum  atau  untuk  melakukan perbuatan  hukum  ditentukan dari telah  atau belum  seseorang  tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam  menentukan  apakah  seseorang  tersebut  dapat  atau  belum  dapat  dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk  pada  suatu  keadaan  sudah  atau  belum  dewasanya  seseorang  menurut hukum  untuk  dapat  bertindak  di  dalam  hukum  yang  ditentukan  dengan  batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai  cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum.

Hukum perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan  zaman kolonial  dikaitkan dengan golongan penduduk, memberikan implikasi berlaku bermacam-macam patokan umur dewasa bagi masing-masing golongan penduduk. Menurut Pasal 2 KUH Perdata, manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal.

Perbedaan mendasar dalam ilmu hukum antara konsep kecakapan hukum dan kewenangan bertindak adalah bahwa kecakapan atau cakap (bekwaan) menggunakan kriteria umum yang di hubungkan dengan keadaan diri seseorang, sedangkan kewenangan atau wewenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang di hubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu Seseorang yang cakap belum tentu berwenang tetapi yang  berwenang sudah pasti cakap.

Undang-undang menentukan bahwa untuk  dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap dan berwenang. Seseorang dapat di katakan telah cakap dan berwenang, harus memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh undang-undang yaitu telah dewasa, sehat pikirannya (tidak di bawah pengampuan) serta tidak bersuami bagi wanita (walaupun ketentuan wanita yang telah bersuami juga dalam perkembangan selanjutnya sudah bisa dikategorikan orang yang cakap, selama syarat lainnya seperti umur telah terpenuhi).

Ketentuan umur dalam memandang seseorang itu telah dewasa atau belum, masih menjadi perdebatan dalam sistem hukum positif di Indonesia. Sebut saja dalam Pasal 330 KUH Perdata dijelaskan bahwa seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Namun dalam sudut pandang UU Perlindungan Anak, kategori seseorang disebut anak adalah orang yang umurnya dibawah 18 tahun (umur 17 kebawah). Itu artinya, dalam sudut pandang UU Perlindungan Anak, seseorang telah dinyatakan bukan anak—secara otomatis disebut dewasa, adalah orang yang berumur 18 tahun keatas.

Terjadi kontradiksi diantara kedua peraturan tersebut. Euis Nurlaelawati yang merupakan dosen penulis saat menempuh studi sarjana di Univeristas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menggunakan pendekatan asas hukum untuk menjawab persoalan ini. Dengan asas lex specialis, Euis Nurlaelawati lebih mendukung ketentuan dalam UU Perlindungan Anak sebagai tolak ukur unifikasi syarat dewasa dalam sistem hukum nasional. Itu artinya, ketentuan umur 21 tahun dalam KUH Perdata secara otomatis dinyatakan tidak berlaku dan semua ketentuan umur anak dan dewasa merujuk ke ketentuan UU Perlindungan Anak.

Penulis secara pribadi mendukung pendapat Euis Nurlaelawati, namun penulis juga menyadari para praktisi di lapangan masih belum menerima konsep tersebut. Bagi penulis, perlu ada penyeragaman ketentuan umur, baik dalam KUH Perdata, UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, dan aturan lainnya yang membahas tentang umur anak dan orang dewasa.

Kecakapan berbuat dan kewenangan bertindak menurut hukum utamanya menurut KUH Perdata dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Seorang  anak yang belum dewasa dapat melakukan seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun[2] dan telah mendapat surat pernyataan dewasa (venia aetatis) yang di  berikan oleh presiden, setelah mendengar nasihat Mahkama Agung (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata).
  2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah mendapat surat pernyataan dewasa dari pengadilan (Pasal 426 KUH Perdata).
  3. Seseorang  yang berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat (Pasal 897 KUH Perdata).
  4. Orang  laki-laki yang telah mencapai umur 15 tahun dan perempuan yang  telah berumur 15 tahun dalam melakukan perkawina (Pasal 29 KUH Perdata).[3]
  5. Pengakuan anak dapat dilakukan  oleh orang  yang  telah berumur 19 tahun (Pasal 282 KUH Perdata).
  6. Anak yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi. (Pasal  1912 KUH Perdata).
  7. Seseorang yang  telah di taruh di bawah pengampuan karena boros dapat :

a.       Membuat surat wasiat (Pasal 446 KUH Perdata).

b.      Melakukan perkawinan (Pasal 452 KUH Perdata).

  1. Istri  cakap bertindak dalam hukum dalam hal:[4]

a.  Dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian perkawinan, pemisahan meja dan ranjang  serta menuntut pemisahan harta kekayaan (Pasal 111 KUH Perdata).

b.    Membuat surat wasiat (Pasal 118 KUH Perdata).

Kecakapan  bertindak  merupakan  kewenangan  umum  untuk  melakukan tindakan  hukum.  Setelah  manusia  dinyatakan  mempunyai  kewenangan  hukum maka selanjutnya kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan  kewajibannya, oleh  karenanya  diberikan  kecakapan  bertindak.  Di  satu  sisi, manusia  adalah  subjek  hukum  sebagai  pengemban  hak  dan  kewajiban  hukum yang  kemudian  diejawantahkan  ke  dalam  bentuk  kewenangan  hukum.  Terkait dengan  hak  terdapat  kewenangan  untuk  menerima,  sedangkan  terkait  dengan kewajiban  terdapat  kewenangan  untuk  bertindak  (disebut  juga  kewenangan bertindak). Kewenangan  hukum  dimiliki  oleh  semua  manusia  sebagai  subjek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor usia, status (menikah atau belum), status sebagai ahli waris, dan lain-lain.

Seseorang yang telah cakap menurut hukum mempunyai wewenang bertindak dalam hukum. Tetapi di samping itu undang-undang menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang di lakukan oleh orang cakap tertentu. Hal ini diatur dalam beberapa ketentuan di KUH Perdata, sebagai berikut:

  1. Tidak boleh mengadakan jual beli antara suami dan istri (Pasal 1467 KUH Perdata). Dalam hal ini suami adalah orang yang cakap,  tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada istrinya.
  2. Larangan kepada pejabat umum (hakim, jaksa, panitera, advokat, juru sita, notaris) untuk menjadi pemilik karena penyerahan hak-hak, tuntutan-tuntutan yang  sedang dalam perkara (Pasal 1468 KUH Perdata).

 



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia.

[2] Ketentuan umur 20 tahun ini bagi penulis masih bisa diperdebatkan.

[3] Ketentuan ini telah diubah menggunakan UU Perkawinan, utamanya UU Perkawinan hasil revisi di tahun 2019.

[4] Ketentuan tentang istri ini diatur juga dalam UU Perkawinan.