SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Makna Hubungan Hukum

Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 70-72)


A.     Makna Hubungan Hukum

Beberapa sarjanawan hukum telah banyak mendefinisikan mengenai hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). Soeroso didalam bukunya berjudul ‘Pengantar Ilmu Hukum’ mendefinisikan hubungan hukum sebagai hubungan antara dua atau lebih subjek hukum. Hak dan kewajiban satu pihak dalam hubungan hukum berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lainnya.[1] Memperkuat definisi yang dijabarkan Soeroso, Ishaq juga memandang hubungan hukum sebagai hubungan yang terjadi antara dua subjek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lainnya.[2]

Menurut penulis, definisi sederhana dari hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Makna dari hubungan yang diatur oleh hukum disini adalah hubungan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi beberapa subjek hukum dalam suatu peristiwa hukum. Berdasarkan definisi singkat tersebut dapat dipahami bahwa hubungan hukum adalah hubungan yang lahir dari suatu peristiwa hukum dengan memberikan implikasi lahirnya hak dan kewajiban diantara beberapa subjek hukum sehingga menimbulkan suatu perikatan. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi, yakni disatu pihak berisi hak, sedang di pihak lainnya merupakan kewajiban.[3] Hak dan kewajiban ini akan tetap melekat pada para pihak yang memiliki hubungan hukum hingga hak dan kewajiban tersebut ditunaikan. Bahkan menurut Abdulkadir Muhammad, hak dan kewajiban tersebut apabila tidak ditunaikan dapat dikenakan sanksi menurut hukum.[4]

Berdasarkan definisi dan penjabaran di atas, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa hubungan hukum memiliki setidaknya 3 (tiga) unsur, yaitu:

  1. Ada dua pihak atau lebih yang hak dan kewajibannya saling berhadap-hadapan.
  2. Adanya objek yang dilaksanakan hak dan kewajibannya.
  3. Adanya suatu sebab-akibat yang timbul atas suatu peristiwa hukum yang melahirkan hak dan kewajiban, misalnya melalui perjanjian.

Selain adanya unsur-unsur diatas, dari definisi-definisi tersebut, hubungan hukum juga mensyaratkan beberapa hal berikut, antara lain:

1.   Harus didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, yaitu peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum tersebut. Dasar ini tentu sangat kental dalam tradisi Civil Law System, dimana hukum diidentikkan dengan hukum tertulis. Menurut penulis, syarat ini tidak begitu berlaku dalam tradisi Common Law System, karena dalam sistem ini hukum tumbuh dan lahir dari masyarakat.

2. Harus menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum ini lahir dari adanya peristiwa hukum (peristiwa yang diatur menurut hukum). Munculnya peristiwa hukum ini tentu akan melahirkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat dalam suatu hubungan hukum.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis hubungan hukum, yaitu:

  1. Hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekkingen). Jenis hubungan hukum bersegi satu berarti hanya ada satu pihak yang memiliki wewenang dan pihak lainnya hanya memiliki kewajiban. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, jenis hubungan hukum ini lahir atas dasar perikatan yang ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
  2. Hubungan hukum bersegi dua (tweezijdige rechtsbetrekkingen). Maksudnya, para pihak yang terikat dalam hubungan hukum sama-sama memiliki hak dan kewajiban. Contoh dalam KUH Perdata adalah perjanjian jual beli, dimana masing-masing pihak berwenang/berhak meminta sesuatu dari pihak lain.
  3. Hubungan antara satu subjek hukum dengan semua subjek hukum lainnya. Selain kedua jenis hubungan diatas, seringkali masih ada hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum lainnya. Menurut Pasal 570 KUH Perdata, hubungan hukum ini biasanya terdapat dalam kasus hak milik (eidendomsrecht).


[1] R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 269.

[2] Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 84.

[3] Ari Hernawan, 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Denpasar: Udayana University Press, hlm. 81.

[4] Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.2.