Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 20-28)
A.
Kronologi Hukum Indonesia
Perkembangan hukum di Indonesia memiliki perjalanan yang cukup panjang hingga akhirnya kita mengenal hukum positif Indonesia saat ini. Dalam pengungkapan sejarah tata hukum dan politik hukum di Indonesia, dari masa pra kolonial hingga era reformasi atau saat ini, akan dikasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Pra Kolonial
Bangsa Indonesia memiliki sejarah bangsa yang luhur dan tak
ternilai harganya. Sejak jaman tandu di kepulauan Nusantara ini telah ada
kehidupan manusia dalam perkembangan sejarah manusia. Akan tetapi pencatatan
kejadian-kejadian penting terhadap kehidupan bangsa Indonesia di masa lalu baru ada sejak memasuki abad ke I, dan ini
pun diketahui setelah ada penelitian-penelitian dari peninggalan-peninggalan
sejarah yang bersifat arkeologis yang ditemukan.[1]
Kemudian setelah kehidupan manusia di Nusantara berkembang serta masuknya budaya dari luar,
hubungan antar pulau pun mulai terjalin. Hal itu mengakibatkan terbangunya
kehidupan kelompok sosial yang mulai
teratur dibawah pimpinan seorang raja atau orang-orang yang dianggap kuat
(sakti) untuk menjalankan pengawasan dalam pergaulan hidup masyarakat.
Pengawasan pergaulan hidup masyarakat saat itu masih dilakukan pada
wilayah-wilayah kelompok sosial masing-masing yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara.
2. Fase Kolonial
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi
penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di
antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan
Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi di
Indonesia yang bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk
suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa
Britania-Belanda dan masa
penjajahan Jepang pada
masa Perang Dunia II.
Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial
terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos
belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
Pada abad ke XVII dan XVIII Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh
pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Verenigde
Oostindische Compagnie atau VOC. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap
perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda
pada tahun 1602.
Markasnya berada di Batavia,
yang kini bernama Jakarta.
a.
Masa VOC 1602-1799
Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde
Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan persekutuan dagang
untuk kawasan Hindia Barat.
Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan
perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Meskipun sebenarnya VOC merupakan
sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh
negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh
memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa
dikatakan VOC adalah negara dalam negara.
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC
di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Pierter Both untuk
membuat peraturan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di
daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan yang dibuat Gubernur Jenderal itu, kemudian
berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh direksi VOC di
belanda dengan nama “Heeren Zeventien”. Setelah penyusunan selesai, maka
pada tahun 1642 diumumkan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan nama “Statuta
Van Batavia”.[2]
Sampai berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13
Desember 1799, tidak ada aturan hukum lain yang berlaku kecuali yang disebutkan
tadi.
b.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda
1800-1942
Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah
kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu kepulauan di
Nusantara mengalami penjajahan pemerintah Belanda dengan menjalankan
peraturan-peraturan pemerintahan dan hukum yang berpedoman pada aturan di negeri
Belanda. Untuk mengurusi Nusantara, saat itu raja/ratu Belanda mengutus
Gubernur Jenderal yang bernama Herman Willam Deandels untuk mengurusi daerah
jajahan di Nusantara. Pada masa pemerintahanya, Deandels membagi Pulau Jawa
menjadi 9 Kerasidenan, dan menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah Belanda
dengan menerima gaji.
Pada tahun 1811 Deandels, diganti
oleh Jensens yang tidak lama memerintah karena pada tahun itu juga kepulauan di
Nusantara dikuasai oleh Inggris dan pemerintah Inggris mengangkat Thomas
Stamford Raffle sebagai Letnan Gubernur. Kemudian dalam pemerintahanya Raffles
mengubah Jawa menjadi 19 Kerasidenan dan kekuasaan Bupati dikurangi. Saat itu
seluruh rakyat dibebani Pajak Bumi (landrente).
Sebagai hasil dari konvensi London
pada tanggal 17 Maret 1814, maka Inggris menyerahkan kembali kepulauan Nusantara
kepada Belanda. Sejak saat itu seluruh tata pemerintahan dan tata hukum diatur
dengan baik. Dan sejarah perundangan-undangan yang berlaku dibagi menjadi 3
masa, yaitu :
1)
Masa Besluiten Regerings 1814-1855
Dalam melaksanakan kekuasaannya
hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum
dengan sebutan Algemene Verordening (peraturan pusat). Karena peraturan
pusat ini dibuat oleh raja, maka dinamakan juga Koninklijk Besluit
(Besluit Raja).
2)
Masa Regerings Reglement 1855-1926
Dalam peraturan dasar pemerintahan
yang dibuat untuk kepentingan daerah jajahan di Indonesia maka dibuatlah UU (wet)
waktu itu dinamakan Regering Reglement (RR). Dan RR ini diundangkan pada
tanggal 1 Januari 1854, tetapi mulai berlaku pada tahun 1855. Dimana RR dalam
ketentuan materi peraturannya memuat 130 pasal dalam 8 bab yang mengatur
tentang tata pemerintahan di Hindia-Belanda, maka RR itu dianggap sebagai UUD
pemerintahan jajahan Belanda.
3)
Masa Indische Staatstregeling
1926-1942
Pada tahun 1918 oleh pemerintah
Belanda dibentuk sebuah Volksraad (wakil rakyat) sebagai hasil
perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki ikut menentukan nasib bangsanya.
Dengan dibentuknya wakil rakyat tahun 1918 itu, maka pemerintah Belanda
merencanakan untuk merubah RR. Namun rencana itu baru terlaksana beberapa tahun
kemudian setelah Grondwet Belanda mengalami perubahan lagi tahun 1922.
Perubahan ini terutama menyangkut wewenang raja terhadap daerah jajahan. Regerings
Reglement yang berlaku pada 1855 diubah dan diganti menjadi Indische
Staatsregeling yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.[3]
c.
Masa Pendudukan Jepang
Untuk melaksanakan tata
pemerintahan di Indonesia, pemerintahan bala tentara Jepang berpedoman pada
undang-undang yang disebut Gunseirei. Setiap peraturan yang dibuat demi
kepentingan di Jawa dan Madura berpedomankan pada Gunseirei melalui Osamu
Seirei. Dan Osamu Seirei itu diperlukan untuk mengatur segala yang
dibutuhkan oleh pemerintahan melalui peraturan pelaksana yang disebut Osamu
Kenrei.
3. Fase
Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat
tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau Dokuritsu Junbi Cosakai, berganti nama
menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi
Inkai dalam bahasa Jepang. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga hal itu dimanfaatkan oleh
Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai Negara yang baru merdeka,
Indonesia membutuhkan wadah organisasi bangsa demi melaksanakan dan mengisi
kemerdekaanya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan dan
memberlakukan UUD yang merupakan hasil dari perumusan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yakni sebuah badan yang dibentuk
oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia dikemudian hari. Dan setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan
UUD itu ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia atau yang
lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945.
Selama kemerdekaanya bangsa
Indonesia mengalami pasang-sarut dalam menjalankan roda pemerintahanya, dimana
hal ini berpengaruh pada dinamika politik hukum di Indonesia. Kebijakan
pemerintah yang berpengaruh pada politik hukum Indonesia dapat di golongkan
menjadi tiga masa, yaitu:
a.
Masa Orde Lama
Masa pemerintahan orde lama
merupakan masa dibawah pimpinan presiden Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai
wakil presiden yang ditetapkan secara aklamasi oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Sejak saat itu tata hukum
positif di Indonesia adalah sistem hukum yang tersusun atas subsistem hukum
adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Setidaknya ada tiga periode penting di masa
orde lama, yaitu:
1)
Periode 1945-1950
Perubahan penting dalam
pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan
pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung,
dengan mengatur hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan dengan UU No. 7 Tahun
1947 tentang Organisasi dan Kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian
diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan
Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Pada dasarnya penetapan ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah
pendudukan bala tentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi
eksekutif dan fungsi yudikatif.[4]
2)
Periode 1950-1959
Setelah berlakunya UUDS 1950,
pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu pembenahan yang dianggap berhasil pada masa ini ialah pemerintah
sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, pemerintah juga berhasil menyelenggarakan
Pemilihan Umum secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan terbetuknya badan Konstituante.[5]
Pada periode ini langkah penting
dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah diberlakukannya UU Darurat No. 1
Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan, Kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan sipil. Pada UU ini kedudukan
hakim setara dengan penuntut umum.
3)
Periode 1959-1965
Perkembangan politik hukum pada
masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5 Juli 1959 oleh
Presiden Soekarno yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana
Merdeka. Isi dari Dekret
tersebut antara lain:
a) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
b)
Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya UUDS 1950;
c)
Pembubaran Konstituante.
Produk perundang-undangan pada
masa demokrasi terpimpin yang paling penting dalam partumbuhan tata hukum di
Indonesia adalah terbitnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan sebagian besar pasal-pasal yang
tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi.[6]
b.
Masa Orde Baru
Setelah kudeta G.30S/PKI berhasil
digagalkan dan sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Supersemar, maka dimulailah babak baru dalam kehidupan
sejarah bangsa Indonesia yang kemudian menyebut dirinya sebagai pemerintahan
Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru berkeinginan untuk mewujudkan
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
Demi mewujudkan hal tersebut
diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang
tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai konsekuensi
pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah susunan perundang-undangan (hierarki)
sebagai berikut :
1) Undang-Undang
Dasar 1945;
2)
Ketetapan MPR;
3)
Undang-Undang/Perpu;
4)
Keputusan Presiden;
5)
Peraturan Pelaksanan Lainya:
a) Intruksi
Menteri;
b)
dan lain-lain.
c.
Masa Orde Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 presiden
Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatanya sebagai presiden RI,
peristiwa ini menandakan berakhirnya masa Orde Baru sekaligus lahirnya era baru
dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Masa ini kemudian dikenal dengan
sebutan Orde Reformasi. Keberhasilan reformasi politik adalah dengan adanya amandemen
konstitusi (UUD 1945). Maka politik hukum yang terpenting pada orde reformasi
adalah diambilnya keputusan politik untuk merubah UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh
MPR sebanyak 4 kali, sejak tahun 1999-2002. Dengan demikian komposisi UUD 1945
yang mengalami 4 kali perubahan tersebut, disahkan pada perubahan keempat oleh
MPR pada sidang tahunan MPR tahun 2002.
[1] Mokhamad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang:
Setara Press, 2012), hlm. 23.
[2] Mokhamad Najih dan Soimin, op.cit., hlm. 28.
[3] Ibid., hlm. 32.
[4] Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 58.
[5] Mokhamad Najih dan Soimin, op.cit.,
hlm. 38.
[6] Ibid., hlm. 39.