Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 6-19)
A.
Sejarah Ilmu Hukum
Jika merujuk pada
sejarah, tidak ada satupun catatan yang sangat valid dan kuat mengenai awal
mula dari kajian hukum. Bahkan menurut penulis, hukum telah ada sejak manusia
menempati planet ini. Dengan adanya interaksi antar manusia, maka lahirlah
aturan diantara mereka, sesederhana apapun bentuknya.
Namun berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki, hukum sebagai sebuah ilmu tidak dapat dipisahkan dari tradisi peradaban Barat. Berbeda dengan peradaban Timur yang tidak menempatkan hukum sebagai faktor sentral, dalam peradaban Barat hukum dipandang sebagai prinsip sentral kehidupan.[1]
Peter Mahmud Marzuki
memperkuat argumentasinya dengan beberapa analisis sejarah, misalnya dari
peradaban Yunani. Pada tahap yang menentukan sejarah Yunani, negara teritorial
merupakan suatu organisasi politik yang sangat penting. Negara dipandang lebih
penting dari semua organisasi yang dibuat oleh manusia.[2]
Berbeda dengan Peter
Mahmud Marzuki, penulis kurang sependapat dengan pernyataan tersebut.
Mengesampingkan peradaban Timur dalam menelusuri sejarah ilmu hukum adalah hal
yang agak paradoks jika tolak ukur yang digunakan adalah ketertarikan suatu
peradaban dengan suatu konsep negara.
Peradaban Timur
seperti Tiongkok, Jepang, Nusantara, dan banyak wilayah lainnya, juga memiliki
konsep negara menurut versi yang berkembang saat itu. Untuk menjaga stabilitas
suatu negara, dibutuhkan hukum yang kuat dan ditopang dengan pendekatan ilmu.
Walau tentu saja, ilmu yang mempelajari hukum saat itu tidak sedemikian rumit
seperti sekarang ini. Namun setidaknya, setiap peradaban memiliki kaidah-kaidah
ilmu hukum dalam menjaga stabilitas dan kelangsungan negaranya.
Dari uraian
tersebut, sulit untuk ditentukan kapan tonggak pertama lahirnya ilmu hukum. Ini
akan menjadi perdebatan yang tiada berkesudahan, karena hukum itu sendiri lahir
dari masyarakat, dan masyarakat tentu lebih dulu ada sebelum lahirnya suatu
peradaban tertentu seperti Yunani, Tiongkok, dan yang lainnya.
Namun jika kita kaji
dalam perkembangan selanjutnya, sejarah ilmu hukum mulai menguat sejak era
Romawi. Hukum Romawi, yang menjadi acuan hukum Barat, bersumber dari Corpus Iuris Civilis hasil kodifikasi
Kaisar Iustinianus. Guarnerius yang menurut sejarah disebut Irnerius telah
melakukan studi yang sistematis terhadap hukum Romawi sebagai suatu sarana
untuk menghilangkan kebingungan dalam hukum lokal Eropa. Ia mulai mengajar di
Universitas Bologna di Italia pada tahun 1087.[3]
Sejak saat itulah
dipandang sebagai saat timbulnya studi hukum secara sistematis sebagai suatu
pengetahuan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu hukum diajarkan sebagai
sesuatu yang terpisah dari politik dan agama. Pada saat itu aturan-aturan dan
putusan-putusan mengenai sengketa dipelajari dan diterangkan dalam kerangka
prinsip-prinsip umum. Para lulusan universitas yang telah mengenyam pendidikan
ini kemudian bekerja sebagai konsultan, hakim, advokat, administrator, dan
perancang undang-undang. Mereka menerapkan apa yang mereka pelajari untuk
membangun dan membuat koherensi norma-norma hukum yang terakumulasi secara
massal. Dengan demikian, mereka mengukir sistem hukum baru yang lain dari hukum
yang telah ada yang dulu tidak dipisahkan dari kebiasaan, politik, dan agama.[4]
Diawal-awal
perkembangan tersebut, yang diajarkan di universitas hanya terbatas pada Corpus Iuris Civilis hasil kodifikasi
Kaisar Iustinianus. Seiring perkembangan zaman, kurikulum di Universitas
Bologna, Paris, Oxford, dan universitas lainnya di Eropa diperluas bukan hanya
mengkaji Corpus Iuris Civilis, namun
juga meliputi hukum Kanonik yang ditetapkan oleh Paus dan Dewan Gereja Katolik
dan sistem hukum sekuler yang dikembangkan oleh kerajaaan-kerajaan di Eropa
yang biasanya dibuat atas bimbingan para yuris lulusan Universitas Bologna.
Dalam menganalisis teks-teks Iustinianus, para dosen mengintroduksi masalah-masalah
hukum yang aktual dan signifikan saat itu dan menganalisisnya dalam kerangka
hukum Romawi dan hukum Kanonik. Metode pengajaran di Fakultas Hukum Universitas
Bologna dan universitas lainnya di Dunia Barat pada abad XII dan XIII merupakan
suatu metode baru tentang analisis dan sintesis. Metode inilah yang kemudian
dikenal sebagai metode ‘skolastik’. Metode ini yang pertama kali dikembangkan
pada awal 1100-an berpangkal pada pra-anggapan mengenai otoritas absolut
buku-buku tertentu yang dipandang berisi doktrin-doktrin yang lengkap dan
terintegrasi. Namun demikian, mereka juga menduga adanya lubang-lubang maupun
kontradiksi. Oleh karena itu, mereka membuat argumen-argumen untuk dapat
menutupi lubang-lubang itu dan menyelesaikan kontradiksi yang ada. Metode ini
disebut dialectica, yaitu mencari
titik temu dari dua hal yang bertentangan. Metode demikian sebenarnya pertama
kali dikembangkan pada zaman Yunani kuno. Istilah dialectica dalam bahasa latin merupakan adaptasi dari istilah
Yunani dialektike yang artinya suatu
diskusi dan penalaran melalui dialog sebagai suatu metode investigasi
intelektual yang dikembangkan pada masa Socrates, Plato, dan Aristoteles.[5]
1.
Bangsa Tuna Aksara
Beberapa upaya
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa primitif untuk menanggulangi tindakan main
hakim sendiri adalah:
a.
Adanya pembalasan secara setimpal, yakni memaksakan suatu tindakan
dari korban kepada pelaku dengan kadar yang sama. Misalkan ada orang yang
membunuh, maka keluarga korban yang terbunuh diberikan keleluasaan untuk membalas
membunuh kepada orang yang membunuh keluarganya.
b.
Kepala suku atau kepala agama memberikan pengaruh kepada masyarakat
untuk hanya memberikan celaan kepada pelanggar peraturan. Ketika ada orang yang
melanggar sebuah aturan atau norma, maka orang tersebut akan diproses oleh
kepala suku atau kepala agama. Sementara itu, hasrat main hakim sendiri yang
masih ada dalam diri masyarakat dituanngkan dengan cemoohan atau gunjingan
terhadap pelaku yang melanggar aturan.
c.
Bangsa-bangsa dahulu mencoba untuk membuat sebuah lembaga khusus
yang menangani masalah orang-orang yang melanggar hukum. Fase ini tentu saja
menjadi cikal bakal lahirnya lembaga yudikatif.
Selain itu, ada
beberapa karakteristik yang khas dari bentuk hukum bangsa-bangsa di zaman
pra-aksara, antara lain:
a.
Hukum yang ada tentu saja hanya didasarkan pada kebiasaan
masyarakat yang terjadi secara turun menurun. Bangsa-bangsa di zaman itu belum
mengenal tulisan, sehingga hukum yang ada hanya berkiblat pada keputusan para
penguasa adat yang mereka jadikan sebagai poros hukum di zaman pra-aksara.
b.
Tatanan hukum yang ada di zaman pra-aksara memiliki keragaman yang
sangat besar, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain memiliki perbedaan
yang cukup signifikan, bahkan diantara suku-suku kecil pun terjadi perbedaan.
Hal ini yang menjadikan pada zaman pra-aksara tidak dikenal universalitas
hukum, karena antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, antara satu suku
dengan suku yang lain, memiliki perbedaan. Bahkan kelompok-kelompok yang
mempunyai kebiasaan sendiri, akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan
kebiasaannya sebagai tameng dalam mempertahankan kelompoknya. Tidak jarang pada
zaman pra-aksara terjadinya perselisihan atau peperangan antar-suku maupun
antar-bangsa hanya didasarkan pada lahirnya gesekan diantara kedua hukum yang
berbeda.
c.
Meskipun antara satu kelompok dengan kelompok lain memiliki banyak
perbedaan, tentu ada beberapa poin yang sama dan dijaga diantara setiap
kelompok. Namun begitu, persamaan ini hanya berlaku dalam beberapa hal saja,
bahkan saking banyaknya perbedaan diantara hukum bangsa-bangsa pra-aksara,
mengakibatkan kesulitan bagi manusia di zaman sekarang untuk mengklasifikasikan
persamaan hukum diantara bangsa-bangsa pra-aksara. Beberapa hal hukum yang
dianggap sama dan menjadi bagian dari setiap ketetapan bangsa-bangsa pra-aksara
adalah kesetiakawanan kelompok, tidak adanya hak eigendom (hak milik) atas
tanah secara individu, artinya setiap tanah yang ada di lingkungan masyarakat,
murni merupakan milik masyarakat secara umum.
d.
Di dalam tatanana hukum bangsa-bangsa pra-aksara masih menjadikan
agama sebagai sumber hukum yang cukup penting. Di zaman itu, tidak ada
pembedaan antara aturan agama dengan ketentuan hukum, karena bangsa-bangsa
pra-aksara tidak membedakan antara kekuatan natural dengan kekuatan
supranatural. Masalah agama ini bahkan terus diturunkan dari zaman dahulu
hingga sekarang. Di beberapa negara di dunia, masih menjadikan agama sebagai
pusat pengendalian hukum.
Adapun mengenai isi dari hukum bangsa-bangsa pra-aksara dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Hubungan Keluarga
Secara
kronologis, hubungan-hubungan antara keluarga adalah hubungan kehidupan manusia
yang paling tua. Isi dari hukum bangsa-bangsa pra-aksara pasti memiliki suatu
ketentuan yang mengatur hubungan keluarga. Hal termudah dalam memberikan contoh
hubungan keluarga adalah terjadinya aturan yang hidup ditengah-tengah
masyarakat pra-aksara yang mewajibkan seseorang untuk menikah eksogami (menikah
dengan orang yang berbeda keluarga).
Kekuasaan
keluarga pada umumnya di selenggarakan oleh seorang laki-laki atau ayah dalam
kerangka pergaulan hidup patrilinier, artinya pergaulan hidup bertumpu pada
garis keturunan dari jalur ayah kepada anak laki-lakinya. Sementara itu
beberapa kelompok menggunakan kerangka pergaulan hidup matrilinier yang
kekuasaannya berada pada kakak laki-laki dari ibu. Hal lain lagi yang diatur
dalam hubungan keluarga adalah masalah hak waris. Setiap kelompok memiliki
pandangan yang berbeda dalam mengatur perkara-perkara waris yang diturunkan
dari orang tua kepada anak-anaknya.
b.
Hubungan Kelompok
Selain hubungan
dalam keluarga, lebih luas bangsa-bangsa pra-aksara juga diperkenalkan dengan
hubungan antar kelompok, baik masalah internal kelompok maupun eksternal
kelompok. Dalam hal internal kelompok, salah satu contohnya adalah pemilihan
sang ketua adat. Pemilihan ini memiliki perbedaan antara satu kelompok dengan
kelompok lain, ada yang menggunakan cara-cara duel antara kandidat-kandidat
pemimpin, ada juga yang diturunkan berdasarkan garis keturunan layaknya sistem
kerajaan pada masa sekarang.
Sementara untuk
hubungan eksternal kelompok, biasanya hanya dilakukan pada kelompok-kelompok
yang berada disekitar mereka. Diantara beberapa kelompok yang ada, mereka
mengadakan sebuah perjanjian tertentu, serta memberikan kejelasan akan
batas-batas wilayah antar-kelompok.
c.
Hubungan Bangsa
Di beberapa
kelompok di zaman pra-aksara, memiliki kesadaran untuk menciptakan kedamaian.
Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain melakukan kerjasama untuk tidak
saling serang dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk kerjasama
inilah yang melahirkan sebuah komunitas besar yang disebut sebagai bangsa. Di
zaman pra-aksara, belum ada kewajiban sebuah bangsa harus memiliki pemimpin
tertinggi layaknya bangsa di zaman sekarang, karena di zaman itu pemilihan
pemimpin bangsa masih belum dimungkinkan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena
egoisme kelompok masih lebih tinggi dari kesadaran bangsa. Disamping itu,
perbedaan kebiasaan (hukum) antara satu kelompok dengan kelompok lain menjadi
sebuah kendala yang sangat besar untuk melahirkan pemimpin bangsa.
d.
Kepemilikan Benda
Bangsa-bangsa
pra-aksara juga memberikan perhatian khusus terhadap benda. Kepemilikan benda
pada zaman itu tidak serta merta dapat dikuasai oleh individu, tapi masih
dianggap sebagai milik publik yang bisa digunakan siapa saja. Kepemilikan yang
memiliki ruang lingkup kecil biasanya hanya sampai pada tingkatan keluarga.
Benda-benda yang ada dalam lingkungan keluarga, secara otomatis merupakan
benda-benda milik keluarga.
Dalam beberapa
hal, ada beberapa benda yang dianggap keramat dan tidak boleh dimiliki oleh
siapapun. Hal ini biasanya terjadi pada bangsa-bangsa yang masih menggunakan
kepercayaan animisme-dinamisme. Benda-benda yang dianggap keramat oleh pemimpin
kelompok, akan dijadikan sebagai benda sakral yang dilarang untuk dimiliki.
Bahkan benda-benda itu dihormati layaknya Tuhan.
e.
Kelas-kelas dalam Masyarakat
Isi dalam
kebiasaan (hukum) masyarakat pra-aksara juga biasanya menentukan kelas-kelas
dalam masyarakat. Pembagian atau pengklasifikasian kelas dalam masyarakat
memiliki perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ada yang
membagi kelas berdasarkan harta, tahta, bahkan kekuatan fisik. Tapi yang jelas,
masyarakat pra-aksara mengenal pembagian kelas dalam masyarakat.
Pembagian kelas
ini dapat dibuktikan dengan lahirnya kepemimpinan feodalisme dan monarki di
zaman modern sekarang ini. Hal ini memberikan sebuah kenyataan bahwa manusia
cenderung untuk membeda-bedakan status sosial. Walau masa pra-aksara telah usai
di dunia ini, tapi peninggalan-peninggalan pemikirannya masih berkembang bahkan
hingga sekarang.
2.
Bangsa Aksara[6]
Perkembangan hukum di zaman bangsa-bangsa yang
mengenal aksara memang memiliki sejarah yang cukup panjang. Namun poin-poin
penting perkembangan hukum selalu ditandai pada masa munculnya negara. Hal ini
berkaitan erat dengan kemunculan hukum modern yang kita kenal saat ini.
Hukum modern sebagai suatu tipe hukum, muncul
dan terbentuk dalam kaitan yang erat dengan munculnya negara modern. Negara
modern sudah menjadi prototipe dari negara-negara di dunia sekarang ini.
Kehadiran negara merupakan suatu objek penting bagi sejarah hukum karena
disiplin ilmu ini lebih melihat dan mengamati bentuk-bentuk hubungan antar
manusia daripada bentuk-bentuk yang sudah disodorkan secara artifisial. Selain
hal tersebut, negara modern juga merupakan kajian penting dalam sosiologi
hukum. Oleh karena itu, sejak munculnya negara modern tersebut maka bentuk atau
bangunan kehidupan sosial yang lama harus mundur dan digantikan dengan
kehidupan sosial yang baru.
Dilihat dari perspektif yang demikian, negara
modern lahir dari suatu konteks kehidupan yang unik, yaitu suasana politik di
Eropa daratan sekitar abad XVIII. Dunia harus menunggu hampir dua ribu tahun
untuk dapat menyaksikan munculnya suatu negara modern.
Salah satu guru besar ilmu sosiologi,
Gianfranco Poggi, membagi pertumbuhan negara modern ke dalam beberapa masa,
yaitu : 1) Feodalisme; 2) Staendestaat; 3) Absolutisme; 4) Masyarakat Sipil;
dan 5) Negara Konstitusional.
Hukum modern sangat berbeda dengan hukum
tradisional yang digantikannya. Beberapa karakteristik yang terdapat pada hukum
modern menurut Unger, adalah sebagai berikut:
a.
Bersifat
publik, dikaitkan kepada kekuasaan yang terpusat;
b.
Bersifat
positif, merupakan kaidah yang dipositifkan;
c.
Bersifat
umum, untuk semua golongan di dalam masyarakat;
d.
Bersifat
otonom secara substantif, institusional, metodologis dan okupasional.
Hukum modern menuntut banyak persyaratan dan
kesiapan struktural dan administratif. Hal tersebut berarti bahwa hanya dengan
tingkat kesiapan tertentu saja hukum modern dapat dilaksanakan dengan baik.
Ketidaksiapan struktural dan administratif menyebabkan hukum bersifat koersif,
kendati negara tersebut merupakan negara hukum. Disebabkan oleh kelangkaan
tenaga yang terampil dan administrasi yang mapan, maka hukum masih lebih banyak
bertumpu pada penggunaan paksaan (coercion).
Hukum berkembang sesuai dengan tersedianya
sumber-sumber dalam masyarakat. Kehadiran suatu sistem hukum merupakan fungsi
dari konfigurasi kekuatan sosial masyarakat. Pada waktu hukum modern yang
disebarkan di Eropa meluas dan dipakai oleh bangsa lain, muncul perkembangan
karakteristik yang disebabkan oleh perbedaan habitat pada negara-negara
tersebut.
Perkembangan yang demikian menimbulkan
persoalan tersendiri, salah satunya pada bangsa-bangsa di kawasan Asia di mana
predisposisi budaya memainkan peranan yang sangat penting dalam suatu
perkembangan hukum. Sistem hukum modern di Eropa sebagaimana dilambangkan dalam
doktrin Rule of
Law adalah suatu perkembangan dengan muatan nilai budaya yang khas.
Hukum modern dalam hal itu melembagakan suatu perkembangan ideologi pembebasan
individu.
Dilihat dari perspektif Asia, khususnya Asia
Timur, perkembangan sebagaimana tersebut di atas dihadapkan kepada suatu
predisposisi budaya tertentu yang berbeda. Di kawasan Asia Timur tidak terdapat
sejarah tentang adanya pembebasan terhadap individu. Keadaan yang berbeda
tersebut yang kemudian menyebabkan penerimaan dan penggunaan hukum modern
secara berbeda pula di kawasan Asia Timur.
Selain perbedaan sejarah pada habitat yang
berbeda, perkembangan hukum yang tidak didukung oleh ketersediaan sumber daya
akan menghasilkan praktik hukum modern yang berbeda. Secara sosiologis,
dikatakan bahwa hukum hanya dapat dijalankan dengan modal tertentu yang
dimiliki suatu bangsa atau komunitas.
Sistem hukum modern yang berkembang di Eropa
menjadi suatu beban yang sangat berat ketika akan diterapkan pada bangsa-bangsa
di Asia yang cenderung masih terbelakang apabila dibandingkan dengan
bangsa-bangsa di Eropa. Sesudah introduksi hukum Barat tersebut, selama
bertahun-tahun masyarakat pedesaan di kawasan negara di Asia masih tetap hidup
dengan kebiasaan tradisionalnya yang telah berusia ratusan tahun. Filsafat
mereka terhadap hukum modern masih tetap berlangsung dalam pola tradisi yang
sudah lama dianut.
3.
Faktor Perkembangan Hukum
Hukum adalah suatu produk yang lahir dari hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat. Maka perkembangan sebuah hukum tidak akan bisa dilepaskan dari aspek-aspek hubungan dalam masyarakat. Faktor-faktor penting yang membawa perkembangan hukum dari masa ke masa adalah faktor politik, ekonomi, religi-ideologis, dan kultur budaya.
a.
Faktor Politik
Tak bisa kita
pungkiri, bahwa kekuasaan adalah ibu dari lahirnya sebuah produk hukum. Suatu
ketentuan hukum biasanya lahir dari tangan-tangan penguasa, terlepas apakah
hukum yang diciptakan sesuai dengan kehendak rakyat atau tidak. Tapi fakta
bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari kehidupan politik sudah diterima oleh
seluruh kalangan.
Jika kita buat
perjalanan waktu dari zaman pra-aksara, maka kita menemukan bahwa bangsa-bangsa
di zaman pra-aksara tidak memiliki penguasa tunggal. Artinya sistem politik
pada masa itu sangat jauh tertinggal. Setiap pemimpin yang lahir hanya bisa
mewadahi kelompok-kelompoknya masing-masing. Namun begitu, para pemimpin
kelompok sudah bisa dijadikan tolak ukur perkembangan hukum dari zaman
pra-aksara. Setiap keputusan yang lahir dari pemimpin kelompok akan diikuti
oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum pun sedikit demi sedikit mengalami
perkembangan.
Perkembangan
hukum yang didasarkan dengan faktor politik mengalami pertumbuhan yang sangat
besar ketika sistem-sistem pemerintahan modern diperkenalkan, seperti lahirnya
demokrasi yang dijadikan kehidupan bernegara mayoritas wilayah di dunia.
b.
Faktor Ekonomi
Marx dan Engels
berpendapat bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh absolut atas
perkembangan kemasyarakatan.[7]
Jika dilihat secara sepintas, mungkin beberapa diantara kita akan berpendapat
bahwa faktor ekonomi tidak terlalu memberikan pengaruh besar terhadap
perkembangan hukum. Namun pemikiran ini sangat keliru.
Perkembangan
hukum secara umum diakibatkan oleh perkembangan hubungan dalam masyarakat.
Sementara perkembangan hubungan kemasyarakatan lahir dari perkembangan ekonomi.
Semakin baik kondisi ekonomi dalam masyarakat, semakin baik pula perkembangan
masyarakatnya. Maka implikasi akhirnya adalah menciptakan perkembangan hukum
menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat jika kita membandingkan antara satu
negara dengan negara lain yang memiliki tingkat ekonomi yang berbeda. Ketika
kondisi ekonominya baik dan stabil, maka konsep-konsep hukumnya pun berjalan
dengan baik. Namun bagi negara-negara yang kondisi perekonomiannya tidak teratur,
maka kondisi masyarakatnya pun akan terjadi kesenjangan yang implikasinya hukum
tidak berdiri secara tegak.
c.
Faktor Religi-Ideologis
Jika kita
belajar terhadap sejarah, kita akan melihat dengan jelas betapa berpengaruhnya
agama dalam memberikan kehidupan ditengah-tengah masyarakat. Agama memiliki
peran sentral dari masa ke masa, bahkan hingga saat ini. Di dalam tatanan hukum
tradisional, mereka masih mengandalkan sumber-sumber hukum yang berisi agama,
serta belum adanya pemisahan antara penguasa kerohanian dan penguasa
keduniawian. Pada masa itu, agama tetap merupakan faktor penting di dalam
hukum, pengaruhnya semakin besar ketika para pemimpin agama bisa memberikan
pengaruh politik.
Selain agama,
hal serupa yang juga memiliki pengaruh bagi perkembangan hukum adalah
ideologi-ideologi keduniawian yang mengandalkan kebenaran absolut sebagai
pandangan hidup mereka. Hal ini sudah lama dijumpai di abad XX pada masa negara-negara
sosialis, yang melihat Marxisme-Lininisme sebagai suatu klarifikasi ilmiah kejadian-kejadian
di masyarakat. Ideologi Marxisme-Leninisme ini menjadi salah satu tonggak
bersejarah dalam perjalanan ideologi yang melahirkan perkembangan hukum di
dunia.
d.
Faktor Kultur Budaya
Di samping
faktor-faktor politik, ekonomi, religi-ideologis, ternyata faktor kultural memberikan
pengaruhnya yang begitu menentukan bagi perkembangan hukum. Faktor kultural ini
bukan hanya penting bagi perkembangan hukum, tapi faktor inilah yang membuat
segala sesuatu dalam kajian ilmu hukum menjadi lebih baik. Tolak ukur
perkembangan hukum dari faktor kultural adalah ketika dikenalnya aksara di
tengah-tengah masyarakat. Disinilah hukum mulai dikodifikasi, dijelaskan dengan
sempurna, dan diturunkan secara turun temurun.
Aksara ini juga
sangat penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Di satu sisi aksara
memberikan pengaruh langsung terhadap perkembangan hukum, sementara di sisi
yang lain aksara memberi dorongan yang kuat bagi perkembangan politik, ekonomi,
dan religi-ideologis. Penemuan dalam pencetakan buku merupakan suatu faktor
yang sangat menentukan dan memberikan sumbangsih yang luar biasa dalam
penyebaran aturan-aturan hukum dan buku-buku ilmu pengetahuan yang berkenaan
dengan hukum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tanpa ilmu mencetak buku
nampaknya hampir tidak mungkin membayangkan adanya suatu ilmu pengetahuan hukum
modern.[8]
[1] Ibid., hlm. 10.
[2] Ibid.
[3] Harold J. Berman, 1983, Law and Revolution, Massachusetts: Harvard University Press, hlm.
123.
[4] Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm.13.
[5] Ibid., hlm. 19.
[6]
Banyak materi yang diambil dari http://kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/390-negara-modern-dan-sosiologi-hukum
pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 00:50 WIB.
[7]
Emeritus John Gilissen, dkk, op.cit., hlm. 97.
[8] Ibid.,
hlm. 101.