SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Pembagian Sistem Hukum

Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 109-122)


A.     Pembagian Sistem Hukum

Ada kekeliruan mendasar yang selalu diajarkan di Fakultas Hukum mengenai pembagian sistem hukum. Biasanya pengajar di Fakultas Hukum hanya mengajarkan bahwa sistem hukum di dunia ada 2 (yaitu civil law system dan common law system), atau kadang disebut hanya ada 3 (yaitu civil law system, common law system, dan sistem hukum campuran). Hal ini keliru, karena pada dasarnya sistem hukum di didunia ini banyak sekali. Setiap sarjanawan hukum mungkin bisa menyebutkan jumlah sistem hukum secara berbeda-beda. Ada yang mengatakan ada 5 sistem hukum, ada juga yang mengatakan 6, ada juga 7, dan seterusnya. Kesemuanya tidaklah keliru, karena setiap sarjanawan hukum memiliki tolak ukur sendiri-sendiri mengenai pembagian sistem hukum yang ada di dunia.

Jika di Fakultas Hukum hanya diajarkan bahwa jumlah sistem hukum hanya ada 2 atau 3 saja, maka mereka tidak akan bisa menjelaskan mengenai sistem hukum yang dianut di Korea Utara misalnya, di Cina atau Tiongkok misalnya, di Rusia misalnya, di Arab Saudi misalnya, di Yordania misalnya, di Oman misalnya, di Yaman misalnya, dan banyak wilayah lainnya yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan pendekatan konsep civil law system atau common law system.

Oleh karenanya, jika ditanya ada berapa jumlah sistem hukum di dunia, maka jawabnya adalah banyak. Setiap sarjanawan hukum memiliki jawaban yang berbeda-beda. Namun begitu, jika ditanya mengenai ada berapa sistem hukum yang terkenal di dunia ini, maka jawabannya adalah 2, yaitu civil law system, common law system, atau menjawab 3 yaitu civil law system, common law system, dan sistem hukum campuran.

Sejak awal abad pertengahan sampai sekitar abad XII, hukum di Eropa Kontinental (negara-negara yang bertalian dalam daratan benua) masuk dalam sistem hukum yang sama, yakni hukum Jerman, maksudnya hukum yang berakar pada tradisi orang-orang Jerman. Hukum tersebut bersifat feodal atau dikuasai oleh bangsawan, baik substansi maupun prosedurnya.[1]

Satu abad kemudian, terjadi perubahan situasi. Hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan hukum acara telah mengubah kehidupan di Eropa Kontinental. Sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang didasarkan pada hukum Romawi disebut sebagai sistem civil law. Disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber pada karya agung Kaisar Yustinianus.

Dilain pihak, ada negara Inggris yang tidak terlalu terpengaruh oleh hukum yang dibawa oleh Romawi. Inggris masih didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris, sehingga disebut sebagai sistem common law.  Terjadinya pergulatan antara civil law dari Romawi dengan hukum yang menjunjung tradisi hukum Jerman—common law—yang mencoba dipertahankan oleh Inggris, secara tepat hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raja Herny II dari Inggris.

Sistem civil law dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental sehingga kerap disebut sebagai sistem Eropa Kontinental. Sebaliknya, common law dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebagian besar Inggris, sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon.[2]

Secara umum, pembagian sistem hukum yang paling terkenal di dunia hanya ada dua atau tiga, yaitu sistem hukum Eropa Kontinental (civil law), sistem hukum Anglo-Saxon (common law), dan sistem hukum campuran atau hibrida. Hanya saja, dalam kajian buku ini akan dijelaskan pula empat sistem lain yang juga penting untuk dikaji, mengingat sistem-sistem tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan hukum di Indonesia. Maka dari itu, penulis memilih enam sistem hukum yang ada di dunia, yaitu:

1.      Sistem Civil Law

Sistem ini berkembang di negara-negara Eropa daratan atau Eropa Kontinental. Civil law juga biasa disebut sebagai hukum Romawi. Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527-565 M). Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus Juris Civilis (hukum yang terkodifikasi). Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda). Artinya, menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai dasar berlakunya hukum dalam suatu negara.

Sistem civil law mempunyai tiga karakteristik, yaitu:[3]

a.       Adanya kodifikasi hukum;

b.     Hakim tidak terikat dengan preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama; dan

c.       Sistem peradilan bersifat inkuisitorial.[4]

Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa penganut sistem civil law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu. Yang menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang.[5]

Dianutnya yurisprudensi sebagai sumber hukum, merupakan suatu produk dari perkembangan wajar hukum Inggris yang tidak dipengaruhi oleh hukum Romawi. Menurut Philip S. James, terdapat dua alasan mengapa dianut yurisprudensi, yaitu alasan psikologis dan alasan praktis. Alasan psikologis adalah setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya daripada memikul tanggung jawab atas putusan yang dibuatnya sendiri. Sedangkan alasan praktis adalah bahwa diharapkan adanya putusan yang seragam karena sering dikemukakan bahwa hukum harus mempunyai kepastian daripada menonjolkan keadilan pada setiap kasus.[6] Intinya, dalam sistem civil law sebenarnya tidak dibutuhkan sumber hukum berupa yurisprudensi, karena setiap hakim diberikan keleluasaan untuk memutuskan perkara tanpa harus melihat kebiasaan hakim-hakim sebelumnya. Namun begitu, penggunaan yurisprudensi di negara-negara yang menganut sistem civil law tidak lain didasarkan pada alasan psikologis dan praktis seperti yang dijelaskan oleh Philip S. James.

Secara umum (sekali lagi “secara umum”), Negara Republik Indonesia menganut sistem civil law. Walaupun memang, penulis tidak menyangkal bahwa dari sistem-sistem hukum yang akan penulis jelaskan disini (terkecuali sistem sosialis), semuanya memiliki peranan penting terhadap perkembangan hukum nasional Indonesia. Sistem civil law ini memberikan kontribusi terbesar diantara sistem-sistem yang lain. Hal ini terjadi karena pengaruh penjajahan negara Belanda yang juga menganut sistem civil law. Setiap negara yang dijajah selalu terpengaruhi oleh negara yang menjajahnya.

Prinsip utama atau prinsip dasar dari sistem civil law adalah sebagai berikut:

a.   Hukum memiliki kekuasaan mengikat karena merupakan kumpulan peraturan yang disusun dalam sebuah undang-undang tertulis secara sistematis.

b.   Kepastian hukum merupakan tujuan dari sistem civil law. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis, yaitu undang-undang.

c.   Dalam sistem hukum ini, terkenal suatu adagium yang berbunyi, “tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain, hukum selalu identik dengan undang-undang.

d.   Hakim dalam sistem ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya berperan menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.

e.   Putusan hakim tidak mengikat kepada masyarakat umum tetapi hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara saja.

Adapun sumber hukum yang selalu dijadikan acuan dalam sistem civil law antara lain:

a.       Undang-undang yang dibentuk oleh legislatif;

b.      Peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh eksekutif; dan

c.       Kebiasaan-kebiasaan (custom) yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.


2.      Sistem Common Law

Sistem common law muncul dan berkembang di Inggris pada abad XI yang merupakan bagian dari pertahanan budaya hukum yang ada di Inggris dari gempuran sistem civil law yang berkembang di Eropa Kontinental. Sistem hukum ini biasa juga disebut sebagai sistem hukum Anglo-Saxon, karena memang sistem ini dipertahankan dan dikembangkan oleh bangsa-bangsa yang terikat dengan bangsa Anglo-Saxon. Selain itu, sistem hukum ini juga dikenal dengan sebutan unwritten law atau hukum tidak tertulis. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat sistem hukum ini merupakan sistem hukum yang mengambil kaidah-kaidah kebiasaan di masyarakat.

Di dalam perkembangannya, penyebutan sistem ini dengan sebutan unwritten law tidak sepenuhnya benar, karena didalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statutes). Sistem common law ini dalam perkembangannya melandasi pula hukum positif di negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan beberapa negara Asia yang termasuk negara-negara persemakmuran Inggris.

Selain itu juga, di dalam sistem common law, peranan hakim memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang dilihat oleh sistem civil law. Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk menentukan perkara yang sejenis. Dimana dalam sistem common law putusan hakim yang diikuti hakim yang lain dalam perkara yang sejenis biasa disebut dengan istilah “hukum yurisprudensi”.

Sistem common law menganut suatu doktrin yang dikenal dengan nama “the doctrine of precendent”, yang pada hakikatnya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada putusan hakim sebelumnya dari perkara yang sejenis (precedent). Jika putusan-putusan hakim sebelumnya dianggap sebagai putusan yang ketinggalan zaman dan dianggap tidak cocok dengan keadaan pada saat itu, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilaan, kebenaran dan akal sehat (common sense) yang dimilikinya.

Dalam perkembanganya, sistem common law ini mengenal pula pembagian “hukum publik” dan “hukum privat”. Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem civil law atau sistem hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat, pengertian yang diberikan oleh sistem common law agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh sistem civil law. Jika didalam sistem civil law, hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu, maka bagi sistem common law pengertian hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of person), hukum perjanjian (law of contract), dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar didalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan. Artinya, dalam sistem common law tidak dikenal kodifikasi hukum yang khusus mengatur hukum privat atau perdata. Semua aturan-aturan itu tersebar dalam berbagai macam undang-undang yang berbeda. Selain itu pula, sistem ini juga biasa disebut dengan istilah case law, yang bermakna bahwa hukum itu lahir setelah adanya putusan hakim yang menetapkan vonis terhadap sebuah perkara tertentu.

Adapun sumber hukum yang biasa dijadikan rujukan di dalam sistem common law adalah sebagai berikut:

a.    Putusan–putusan hakim/putusan pengadilan atau yurisprudensi (judicial decisions). Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan-putusan hakim itu prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat terhadap umum.

b. Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara, karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan pengadilan.

Sementara itu, ciri dari sistem common law, bahwasanya putusan pengadilan, kebiasaan, dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah kodifikasi hukum sebagaimana pada sistem civil law. Seluruh keputusan dan undang-undang yang ada, tersebar dalam berbagai macam undang-undang yang berbeda.

Peranan hakim dalam sistem common law menjadi bagian tak terpisahkan dalam membentuk ciri khas yang berbeda dengan sistem civil law. Peran hakim itu adalah sebagai berikut:

a.   Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja. Hakim berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat.

b.    Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara yang sejenis. Oleh karena itu, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara yang sejenis (asas doctrine of precedent).

c.   Namun, bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.


3.      Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat adalah serangkaian sistem yang bersumber dari kebiasaan-keebiasaan di masyarakat yang sudah dipegang teguh antar generasi, serta memiliki kaitan erat dengan kesucian nenek moyang di masa lalu. Perlu dikaji disini, bahwasanya sistem hukum adat berbeda dengan sistem common law. Meski sama-sama berangkat dari sebuah kebiasaan, namun maksud dan redaksinya sangat jauh berbeda. Jika sistem common law merupakan sistem yang berangkat dari kebiasaan putusan hakim, maka sistem hukum adat berangkat dari kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang bersumber dari kehendak nenek moyang di masa lalu. Artinya, sistem hukum adat ini memiliki keidentikkan dengan sesuatu hal yang dianggap mistis oleh masyarakat modern.

Sistem hukum adat terdapat dan berkembang di lingkunagn kehidupan sosial terutama di masyarakat Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara lain yang ada di belahan dunia Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri, asal mula istilah hukum adat adalah dari istilah “Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronye. Sistem hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.

Sifat hukum adat adalah tradisonal dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang. Tolak ukur keinginan yang akan dilakukan oleh manusia ialah kehendak suci dari nenek moyangnya. Hukum adat berubah-ubah karena pengaruh kejadian dan keadaan sosial yang silih berganti. Karena sifanya yang mudah berubah dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial, hukum adat bersifat elastis. Karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan diri.

Sistem hukum adat ini, walau sebenarnya tidak mendapat perhatian khusus dari masyarakat Barat, namun berkembang pesat dan menjadi pendorong bagi sistem hukum di beberapa negara di dunia. Sistem hukum adat ini juga memiliki peranan penting bagi perkembangan hukum di era klasik, dimana di zaman dahulu, keteraturan adat istiadat di dalam masyarakat selalu dijadikan acuan dalam fungsi kebenaran hukum. Maka dari itu, penulis merasa sistem hukum adat ini perlu untuk dijadikan sebuah klasifikasi tersendiri, independen dari sistem hukum yang lain.

Maka sederhananya, sistem hukum  adat ini memiliki ciri sebagai berikut:

a.      Bentuk hukum adat ini biasanya tidak tertulis. Adapun memang dalam perkembangannya di zaman modern seperti ini, adat istiadat yang sudah menjadi ketetapan hukum negara banyak yang sudah di bakukan dalam bentuk hukum tertulis.

b.      Memiliki sifat yang tradisional, menjunjung tinggi kebiasaan yang sudah berkembang dari zaman dahulu.

c.    Biasanya, sistem hukum adat ini didasarkan pada keyakinan masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini tentu berbeda dengan sistem hukum agama, dimana sistem hukum agama bersumber pada kitab suci.

d.    Sistem hukum adat juga memiliki sifat yang elastis, artinya mudah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Walau zaman sekarang disebut sebagai zaman modern, namun nilai-nilai hukum adat akan tetap lahir di tengah-tengah masyarakat, bahkan di negara-negara Barat sekalipun.

e.   Memang, dalam perkembangannya saat ini, belum ditemukan sebuah negara yang murni menganut sistem hukum adat secara total. Namun sistem hukum nasional setiap negara, pasti memiliki corak yang berbeda-beda, dan perbedaan yang ada tersebut, tidak lain merupakan manifestasi keberadaan hukum adat di setiap negara.

 

4.      Sistem Hukum Agama

Sistem hukum selanjutnya yang penulis anggap penting adalah sistem hukum agama. Ada kalanya sistem hukum ini menjadi penguasa dunia, khususnya ketika doktrin gereja yang begitu luas di Eropa serta ekspansi kekuasaan Islam di era pertengahan. Dua periode ini menjadi tonggak munculnya sistem hukum agama. Hal ini tentu berbeda dengan sistem-sistem hukum sebelumnya, karena dalam sistem hukum agama memiliki ciri khas yang unik.

Di percaya atau tidak, beberapa negara di dunia mengklaim menerapkan hukum agama sebagai hukum negaranya. Penerapan hukum agama ini bersifat menyeluruh, artinya segala aspek hukum di negara tersebut diadopsi secara total dari ketentuan agama. Contoh sederhana mengenai sistem hukum ini bisa kita lihat negara Arab Saudi. Di negara tersebut seluruh aturan hukum, baik pidana maupun perdata, seluruhnya disesuaikan dengan hukum agama yang sudah ditafsirkan oleh ulama atau ahli agama Islam. Negara Arab Saudi tidak menyatakan dirinya sebagai negara yang menganut sistem civil law atau common law, tapi murni sebagai hukum Islam. Inilah alasan mengapa sistem hukum agama ini penting untuk dijadikan klasifikasi yang mandiri dari sistem hukum yang lain.

Di beberapa negara, sistem hukum agama ini hanya sebagai pelengkap dan menjadi kontrol hukum nasional. Dalam masalah ini, kita bisa merujuk kepada Negara Republik Indonesia. Di negara Indonesia, sistem hukum agama ini dipakai sebagai pelengkap dan menjadi bagian kontrol terwujudnya kemaslahatan bangsa.

Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam kitab suci. Hal ini menjadi ciri khas dari sistem hukum agama. Perlu ditekankan disini, bahwasanya sistem hukum agama berbeda dengan sistem hukum adat. Memang dalam kacamata kasar, keduanya terlihat sama, yakni berakar dari sebuah keyakinan. Sistem hukum adat juga memiliki kaitan yang erat dengan keyakinan masyarakat terhadap keberlangsungan adat istiadat. Namun jika kita telusuri hakikat dan maknanya, keyakinan yang lahir dari sistem hukum adat dan sistem hukum agama akan terasa berbeda. Dimana keyakinan masyarakat terhadap sistem hukum agama ini bersumber dari kitab suci, artinya berasal dari sumber hukum tertulis, berbeda dengan sistem hukum adat yang tidak tertulis.

Secara bahasa, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.[7] Peranan agama dalam penciptaan hukum di setiap negara tidak bisa di pandang sebelah mata. Setiap negara di dunia ini pasti memiliki hukum yang berkaitan khusus dalam mengatur agama, atau pembuatan sebuah hukum didasarkan pada nilai-nilai agama yang menjadi mayoritas di negara tersebut, termasuk di negara sekuler sekalipun.

Adapun ciri khas dari sistem hukum agama ini adalah:

a.       Memiliki sumber hukum dari kitab suci. Artinya sistem hukum ini bersifat hukum tertulis.

b.      Berkaitan erat dengan keyakinan masyarakat terhadap Tuhan. Hal ini juga yang menjadikan hukum agama selalu mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

c.     Layaknya sistem hukum adat, di sebagian besar negara di dunia hanya menjadikan sistem hukum agama sebagai pelengkap hukum nasional. Namun daripada itu, ada beberapa negara yang menjadikan hukum agama sebagai hukum resmi negara.

d.    Biasanya sistem hukum agama memiliki sifat yang cukup keras, artinya hukum-hukum yang ada tidak bisa dikompromi dengan kehendak manusia. Setiap hal yang tertulis dalam kitab suci dianggap sebagai sesuatu hal agung yang diturunkan langsung dari Tuhan.

e.    Dalam hukum agama, disamping memberikan hukuman di dunia, biasanya juga di takut-takuti dengan hukuman Tuhan yang ada di kehidupan setelah kematian. Konsep ini berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lain.

 

5.      Sistem Hukum Sosialis

Perlu ditekankan disini bahwa sistem hukum sosialis ini pernah menjadi bagian penting dalam perjalanan sistem hukum dunia. Di era kekuasaan Uni Soviet, sistem hukum sosialis menjadi salah satu sistem hukum yang paling disegani dan menjadi perhatian paling mengesankan bagi para akademisi di zaman itu. Socialist law adalah nama resmi untuk sistem hukum di negara-negara komunis. Kata sosialis ketika digunakan dalam hubungannya dengan hukum mengandung banyak arti berbeda diantara para ahli hukum. Pada dasarnya, kata “sosialis” menandakan filosofi dan ideologi yang mengacu kepada pemikiran Marxist-Leninist.

Ideologi sosialis selalu dihubungkan dengan prinsip bahwa keseluruhan hukum adalah instrumen dari kebijakan ekonomi dan sosial, sementara kebiasaan common law dan civil law menggambarkan kapitalis, imperialis, eksploitasi masyarakat, ekonomi dan pemerintahan. Teori Marxist dibangun diatas dasar doktrin dialektikal/historikal materialisme yang berpendapat bahwa masyarakat bergerak menuju berbagai tingkatan dan fase.

Quigley merangkum beberapa ciri atau corak yang biasa ditemui di negara-negara yang menganut paham sosialis, yaitu sebagai berikut:

a.   Hukum sosialis diprogramkan untuk lenyap secara perlahan bersamaan dengan hilangnya hak kepemilikan privat dan kelas-kelas sosial serta transisi menuju sebuah tatanan sosial komunistik.

b.      Negara-negara sosialis didominasi oleh sebuah partai politik tunggal.

c.   Di dalam sistem sosialis, hukum di sub-ordinasikan untuk menciptakan sebuah tatanan ekonomi baru, di mana di dalamnya hukum privat diabsorbsi oleh hukum publik.

d.      Hukum sosialis memiliki sebuah karakter pseudo-religius, artinya sistem hukum sosialis ini memiliki makna keagamaan yang dianggap palsu.

e.       Hukum sosialis lebih bersifat prerogatif ketimbang normatif.

Dalam perkembangannya, sistem hukum sosialis ini memiliki sebuah problem atau masalah. Setidaknya ada dua pendapat dalam memandang sistem hukum sosialis, ada yang mengatakan bahwa sistem hukum ini berdiri sendiri, dan ada pula yang menganggap bahwa sistem ini hanyalah bagian dari sistem civil law. Quigley yang memberikan ciri diatas cenderung menganggap bahwa sistem hukum ini bagian dari sistem civil law, sementara ahli hukum lain, diantaranya adalah Peter De Cruz menganggap bahwa sistem hukum sosialis memiliki karakter unik yang berbeda dengan sistem civil law.

Peter De Cruz tidak setuju dengan kesimpulan menyeluruh Quigley yang mengatakan bahwa sistem sosialis hanyalah perluasan lainnya dari sistem civil law. Menurut Peter De Cruz, bahwa pengaruh ideologi Marxis/Leninis lah, memberikan corak yang unik dalam sistem ini, yang menjadikan sistem ini menjadi dominan di negara-negara anggota Uni Soviet. Hal ini jelas menjadikan pembeda yang nyata antara sistem civil law dengan sistem sosialist law.

Dalam perkembangannya saat ini, sistem hukum sosialis ini tidak benar-benar diadopsi secara total. Negara-negara bekas Uni Soviet seperti Rusia, memiliki corak baru dalam implementasi sosialisme mereka. Bahkan akibat tergesernya peradaban, bagian-bagian kapitalis sudah mulai muncul di negara-negara sosialis, seperti Cina atau Tiongkok. Hal ini memberikan kesan bahwa pengaruh sistem hukum sosialis ini sudah mulai redup, namun masih tetap hidup di sebagian negara sebagai jati diri kebangsaan.


6.      Sistem Hukum Hibrida/Campuran

Dalam faktanya, setiap negara menganut sistem hukum hibrida atau campuran. Memang klaim setiap negara pasti hanya menyebukan setidaknya dua sistem hukum, yaitu civil law dan common law. Di beberapa negara mengklaim sebagai penganut sistem hukum agama dan sistem hukum sosialis. Namun begitu, jika kita telusuri dan kita perdalam lagi, setiap negara yang ada di dunia, pasti memiliki produk hukum yang diambil dari setiap sistem yang ada. Itu artinya, setiap negara tidak benar-benar murni mengadopsi sistem hukum secara penuh, namun penulis lebih cenderung menyebutnya sebagai kecondongan atau dominasi hukum negara terhadap sistem hukum tertentu. Kita ambil contoh sederhana di negara Indonesia yang sebagian besar orang utamanya para praktisi hukum dan akademisi hukum—kecuali akademisi hukum yang memang membidangi hukum tata negara—mengklaim negara Pancasila ini menganut sistem civil law. Namun jika kita perdalam lebih jauh lagi, dalam beberapa produk hukum, Indonesia juga menganut hukum yang bersumber dari sistem common law, ada juga hukum dari sistem hukum agama Islam, serta ditambah beberapa hukum yang didasarkan pada sistem hukum adat. Penyebutan sistem civil law hanya sebagai identitas yang ingin ditunjukkan Indonesia kepada dunia internasional sebagai kecondongan atau dominasi hukum nasional Indonesia yang memang kebanyakan menganut sistem civil law.

Sistem hukum hibrida ini secara mudah dapat kita terjemahkan sebagai sistem hukum campuran. Sistem hukum hibrida yaitu sebuah sistem di mana ada lebih dari satu sistem hukum yang hidup bersama. Jika kita ingin mengamati fenomena yang ada dengan sedikit rasional, maka setiap negara di dunia adalah penganut sistem hukum hibrida. Hal ini bukan tanpa alasan, karena setiap negara memiliki corak hukum yang berbeda. Bahkan diantara negara-negara yang mengklaim dengan sistem hukum yang sama, misalnya mengklaim sistem civil law, antara satu negara dengan negara yang lain memiliki corak civil law yang berbeda jauh sekali. Itu artinya, ada faktor-faktor tertentu di dalam sistem civil law yang dikembangkan dalam setiap negara dikolaborasikan dengan sistem hukum yang lain. Jika memang ada sebuah negara yang menganut sistem civil law secara total, tentunya antara satu negara dengan negara lain tidak akan memiliki perbedaan yang cukup besar, mengingat konsep civil law yang dipahami secara internasional bersifat konstan.

Namun begitu, penulis menyadari konsep penulis ini tentu tidak akan mudah diterima bagi sebagian orang. Banyak alasan mengapa setiap negara bersikukuh bahwa dirinya sebagai penganut sistem civil law atau common law secara total. Pandangan penulis ini hanya merujuk pada realitas pluralitas hukum yang ada dalam setiap negara di dunia, dimana antara satu negara dengan negara yang lain dalam satu klaim yang sama, ternyata memiliki corak yang jauh berbeda. Produk hukum yang ada dalam setiap negara pun selalu mengadopsi hukum lintas sistem yang dianggap cocok dalam lingkungan masyarakatnya. Intinya, dalam pandangan penulis, penyebutan sistem dalam sebuah negara hanyalah sebuah klaim yang dikaji sesuai kecenderungan atau dominasi hukum yang dianut oleh negara tersebut.



[1] Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 223.

[2] Ibid., hlm. 224.

[3] Ibid., hlm. 244.

[4] Inkuisitorial maksudnya adalah bahwa dalam sistem tersebut, hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara.

[5] Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 250.

[6] Ibid., hlm. 251.

[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia.