Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 123-127)
A.
Sistem Pancasila Law (Hibrida)
Pendapat penulis diatas bahwa Indonesia secara teori sudah tidak bisa lagi disebut sebagai penganut sistem civil law, dikuatkan dengan pendapat sarjanawan hukum utamanya yang membidangi hukum tata negara. Bahkan, Djoko Sukisno yang merupakan dosen penulis saat menempuh studi magister di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) selalu berulangkali mengingatkan setiap mahasiswa di FH UGM untuk membuang jauh-jauh prinsip lama yang mengatakan Indonesia adalah penganut civil law system. Djoko Sukisno selalu bersikukuh bahwa Indonesia memiliki sistem berkarakter unik, dan hanya bisa dijelaskan dengan pendekatan sistem hukum campuran. Sistem hukum campuran yang dikatakan Djoko Sukisno inilah yang bagi sarjanawan hukum tata negara disebut sebagai sistem hukum Pancasila.
Bagi penulis,
penggunaan istilah sistem hukum Pancasila hanyalah suatu identitas di internal
negara, tidak untuk menjadi identitas keluar. Secara teori umum, sistem hukum
Pancasila masuk kategori sistem hukum hibrida atau sistem hukum campuran. Hanya
saja, di internal Indonesia, sistem hukum campuran yang dianut Indonesia
diberikan suatu nama sebagai jatidiri dengan nama sistem hukum Pancasila. Dalam
perkembangan politik hukum di Indonesia juga sudah mulai disebutkan dan menjadi
referensi utama yang mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem
hukum Pancasila.
Walau memang,
penulis tidak memungkiri kenyataan bahwa banyak praktisi hukum dan banyak pula
akademisi hukum di Indonesia yang masih berpandangan bahwa sistem hukum di
Indonesia adalah sistem hukum sipil peninggalan Belanda. Sebagaimana telah
penulis sebutkan diatas, bagi penulis civil
law system hanyalah kecondongan saja. Memang betul, hampir diatas 70%
kecondongan sistem hukum di Indonesia masih merujuk ke sistem civil law, namun kita tidak bisa
mengesampingkan aspek-aspek lain dalam sistem hukum Indonesia yang mengadopsi
dari sistem hukum lain selain civil law
system.
Pancasila sebagai
sumber segala sumber hukum sudah mendapatkan legitimasi secara yuridis melalui
TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik
Indonesia. Setelah reformasi, keberadaan Pancasila tersebut kembali dikukuhkan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum memberi makna bahwa sistem hukum
nasional wajib berlandaskan Pancasila.[1]
Sumber hukum pada
hakikatnya adalah tempat kita dapat menemukan dan menggali hukumnya. Sumber
hukum menurut Zevenbergen dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber
hukum formil. Sumber hukum materiil merupakan tempat dari mana materi hukum itu
diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum misalnya: hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial
ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), perkembangan
internasional, keadaan geografis. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber
dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan itu formal berlaku.[2]
Apabila dikaitkan
dengan dua jenis sumber hukum di atas, maka Pancasila termasuk sumber hukum
yang bersifat materiil sedangkan yang bersifat formil seperti peraturan
perundang-undangan, perjanjian antarnegara, yurisprudensi dan kebiasaan.
Pancasila sebagai sumber hukum materiil ditentukan oleh muatan atau bobot
materi yang terkandung dalam Pancasila. Setidaknya terdapat tiga kualitas
materi Pancasila yaitu: pertama, muatan Pancasila merupakan muatan
filosofis bangsa Indonesia. Kedua,
muatan Pancasila sebagai identitas hukum nasional. Ketiga, Pancasila tidak
menentukan perintah, larangan dan sanksi melainkan hanya menentukan asas-asas
fundamental bagi pembentukan hukum (meta-juris). Ketiga kualitas materi inilah
yang menentukan Pancasila sebagai sumber hukum materiil.[3]
Menurut Roeslan
Saleh sebagaimana dikutip oleh Fais Yonas Bo’a, fungsi Pancasila sebagai sumber
segala sumber hukum mangandung arti bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:[4]
1. ideologi hukum Indonesia;
2. kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan
hukum Indonesia;
3. asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan
pilihan hukum di Indonesia;
4. sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa
Indonesia, juga dalam hukumnya.
Keberadaan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian kembali dipertegas dalam
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu memuat tiga ayat:[5]
1. sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan;
2. sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis;
3. sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan
batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Pengaturan TAP MPR
di atas lebih memperjelas maksud dari istilah sumber hukum dalam sistem hukum
di Indonesia bahwa yang menjadi sumber hukum (tempat untuk menemukan dan
menggali hukum) adalah sumber yang tertulis dan tidak tertulis. Selain itu,
menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama dari pembuatan segala macam
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, tidak lagi ditemukan istilah
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal ini memang tidak
mengganggu keberadaan Pancasila sebagai norma dasar yang menginduki segala
norma tetapi tentu mengurangi supremasi dan daya ikat Pancasila dalam tatanan
hukum. Dikatakan demikian, karena nilai-nilai Pancasila seperti sebagai
pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral tidak lagi
mendapatkan legitimasi yuridis. Terutama, sistem hukum modern sudah banyak
dipengaruhi oleh aliran pemikiran positivisme hukum yang hanya mengakui
peraturan-peraturan tertulis. Untuk itu, adalah suatu kekeliruan apabila tidak
menerangkan secara eksplisit mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum.[6]
Menariknya,
supremasi Pancasila dalam sistem hukum kembali ditemukan dalam UU No 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pada Pasal 2 UU ini
disebutkan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. UU tersebut
kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur tentang hal yang
serupa. Pada Pasal 2 UU ini tetap menegaskan hal yang sama sebagaimana dalam UU
No. 10 Tahun 2004 bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Dengan demikian, keberadaan Pancasila kembali menjadi supreme norm dalam sistem
hukum negara Indonesia sehingga Pancasila sebagai suatu pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum maupun cita-cita moral bangsa terlegitimasi
secara yuridis.[7]
Akan tetapi,
keberadaan Pancasila tersebut semakin tergerus dalam sistem hukum nasional. Hal
demikian dilatarbelakangi oleh tiga alasan yaitu: pertama, adanya sikap
resistensi terhadap Orde Baru yang memanfaatkan Pancasila demi kelanggengan
kekuasaan yang bersifat otoriter. Kedua, menguatnya pluralisme hukum yang
mengakibatkan terjadinya kontradiksi-kontradiksi atau disharmonisasi hukum.
Ketiga, status Pancasila tersebut hanya dijadikan simbol dalam hukum. Untuk
itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menerapkan Pancasila sebagai sumber
segala sumber hukum dalam sistem hukum nasional yaitu: pertama, menjadikan Pancasila
sebagai suatu aliran hukum agar tidak terjadi lagi disharmonisasi hukum akibat
diterapkannya pluralisme hukum. Kedua, mendudukkan Pancasila sebagai puncak
peraturan perundang-undangan agar Pancasila memiliki daya mengikat terhadap
segala jenis peraturan perundang-undangan sehingga tidak melanggar asas lex
superiori derogat legi inferiori.[8]
[1] “Pancasila Sebagai Sumber Hukum dan Sistem Hukum
Nasional”, https://jurnalkonstitusi.mkri.id,
diakses pada tanggal 11 Februari 2021, pukul 11:50 WIT.
[2] Fais Yonas Bo’a, 2018, “Pancasila sebagai Sumber
Hukum dan Sistem Hukum Nasional”, Jurnal
Konstitusi, Volume 15, Nomor 1, Maret 2018, Yogyakarta: Program
Pascasarjana Universitas Atma Jaya, hlm. 32.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 34.
[5] Ibid., hlm. 35.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 36.
[8] “Pancasila Sebagai Sumber Hukum dan Sistem Hukum
Nasional”, https://jurnalkonstitusi.mkri.id,
diakses pada tanggal 11 Februari 2021, pukul 11:50 WIT.