Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 133-140)
A.
Penemuan Hukum (Rechtvinding)
Penemuan hukum atau rechtvinding secara umum hanya bisa
dilakukan oleh hakim, walaupun dalam beberapa kasus bisa dilakukan oleh penegak
hukum lainnya. Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan
Undang-Undang” dan Pasal 22 AB serta Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang
yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya.
Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka untuk mengatasinya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Artinya seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtvinding).
Yang dimaksud dengan
rechtvinding adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan
peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkret dan hasil penemuan hukum
menjadi dasar untuk mengambil keputusan atau putusan.[1]
Van Apeldorn
menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan pembentukan hukum harus
memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada asas:[2]
1.
menyesuaikan
undang-undang dengan fakta konkret;
2.
dapat juga menambah
undang-undang apabila perlu.
Hakim membuat
undang-undang karena undang-undang tertinggal dari perkembangan masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu
yang dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan hukum.
Seolah-olah hakim berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yaitu
badan pembentuk peraturan perundang-undangan. Pasal 21 AB menyatakan bahwa
hakim tidak dapat memberi putusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum.
Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif.
Hukum yang dihasilkan hakim tidak diundangkan dalam Lembaran Negara. Putusan
hakim tidak berlaku bagi masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi
pihak-pihak yang berperkara. Sesuai pasal 1917 KUH Perdata yang menentukan
bahwa kekuasaan putusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan
dalam putusan tersebut. Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa
undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran hakim untuk
menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat agar dapat mengambil putusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai
tujuan hukum. [3]
Terdapat beberapa
pendapat mengenai metode penemuan hukum ini dengan mendasarkan pada pandangan
masing-masing para ahli. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya membedakan metode
penemuan hukum menjadi tiga, yaitu metode interpretasi, metode argumentasi, dan
metode eksposisi (kontruksi hukum).[4]
Achmad Ali
membedakan metode penemuan hukum menjadi dua, yaitu metode interpretasi dan
metode kontruksi.[5] Hal serupa juga
diungkapkan oleh Philiphus M. Hadjon dengan merujuk pendapat yang dikemukakan
“J.J.H. Bruggink dalam bukunya Op Zoek Naar Het Recht (Rechtsvinding in Rechstheoretisch Perspectief), yang meliputi
metode interpretasi (interpretatiemethoden)
dan model penalaran (redeneerweijzen)
atau kontruksi hukum.[6]
Ahmad Rifai dalam
bukunya membedakan metode penemuan hukum menjadi tiga bagian yaitu selain
metode penemuan hukum interpretasi dan kontruksi seperti yang diungkapkan oleh
Achmad Ali dan Philuphus M. Hadjon, ia juga menambahkan metode hermeneutika.[7]
Untuk memeberikan pemahaman mengenai pembagian metode penafsiran hukum
tersebut, maka akan dijelaskan jenis-jenis metode penafsiran hukum yaitu
sebagai berikut:
1.
Metode Interpretasi Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan
metode penemuan hukum yang menjelaskan teks undang-undang agar undang-undang
tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. “Penafsiran oleh hakim
merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima
oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Tujuan
akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi
agar hukum positif itu berlaku”.[8]
Interpretasi hukum dapat dilakukan dengan
setidaknya sebelas metode, yaitu:
- Interpretasi gramatikal, yaitu
metode penemuan hukum dengan meenafsirkan kata-kata dalam undang-undang
sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.[9]
- Interpretasi historis, ada dua
macam interpretasi historis yaitu yang pertama interpretasi menurut
sejarah undang-undang (wet
historisch) dan yang kedua interpretasi sejarah hukum (recht historisch).[10]
- Interpretasi sistematis, yaitu
metode yang menafsirkan undangundang sebagai bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan.[11]
- Interpretasi teleologis atau
sosiologis, yaitu suatu interpretasi untuk memahami suatu peraturan
hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan masyarakat. Interpretasi teleologis/sosiologis
menjadi sangat penting apabila hakim menjalankan suatu undang-undang,
dimana keadaan masyarakat ketika undang-undang itu ditetapkan berbeda
sekali dengan keadaan pada waktu undang-undang itu dijalankan.[12]
- Interpretasi komparatif, merupakan
metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem
hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Metode interpretasi ini
digunakan oleh hakim pada saat menghadapi kasus-kasus yang menggunakan
dasar hukum positif yang lahir dari perjanjian internasional.[13]
- Interpretasi futuristik atau
antisipatif, merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi,
yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman
pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum).[14]
- Interpretasi restriktif, merupakan
metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari
suatu aturan.[15]
- Interpretasi ekstensif, merupakan
metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang
biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal.
- Interpretasi autentik, bahwa
interpretasi autentik ini memberikan keterangan atau pembuktian yang
sempurna, yang sah atau yang resmi.
- Interpretasi interdisipliner, dilakukan
oleh hakim apabila ia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata
substansinya menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam
lingkup ilmu hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum
administrasi atau hukum internasional. Hakim akan melakukan penafsiran
yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas
hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.
- Interpretasi multidisipliner, dalam metode interpretasi
multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus
yang dihadapinya, seorang hakim juga harus mempelajari dan
mempertimbangkan berbagai masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu
hukum.
2.
Metode Konstruksi Hukum
Konstruksi harus dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana
dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan
tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat
memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.[16]
Metode konstruksi hukum ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut:
- Metode Argumentum Per Anoalgium (Analogi), berarti memperluas
peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya,
kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip
dengan yang diatur dalam undang-undang.
- Metode Argumentum a Contrario, yakni menggunakan penalaran bahwa
jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa
di luarnya berlaku kebalikannya.[17]
- Metode Penyempitan/Penghalusan
Hukum, metode ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang
bersifat terlalu abstrak, pasif, dan sangat umum sifatnya.
- Fiksi Hukum, yaitu sesuatu yang
khayal yang digunakan di dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata,
istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang
bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum.
2. Metode Hermeneutika
Hukum
Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat
mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi
(penafsiran) terhadap teks. Kata teks atau sesuatu dalam pengertian yang sedang
dibahas ini adalah berupa teks hukum, fakta hukum, naskah-naskah hukum klasik,
dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam dalam kitab suci, hasil ijtihad hukum
(doktrin hukum), peraturan perundang-undangan, atau yurisprudensi, dan itu
semua kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Metode dan teknik
penafsirannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks,
konteks, dan kontekstualisasi.
[1] “Penemuan Hukum oleh Hakim (Rechtvinding)”, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id,
diakses pada tanggal 11 Februari 2021, pukul 12:42 WIT.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 56.
[5] Achmad Ali, 2013,
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicialprudence)Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Jakarta: Kencana, hlm. 164.
[6] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati, op.cit., hlm.
25.
[7] Ibid., hlm. 61.
[8] Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Peenemuan Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 13.
[9] Johnny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Bayumedia Publishing, hlm. 221.
[10] Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 60.
[11] Ibid., hlm. 58.
[12] Pontang Moerad B.M., 2005, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan
dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni,
hlm. 92-93.
[13] Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit, hlm. 19.
[14] Achmad Ali, op.cit., hlm.186.
[15] Ibid.
[16] Achmad Ali, op.cit., hlm.192.
[17] Ibid., hlm.197.