SELAMAT DATANG DI BUNDARAN HUKUM

Teori Hukum

 Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 80-91)


A.     Teori Hukum

Penting bagi pembaca untuk melengkapi pengetahuan hukum dengan beberapa teori hukum yang berkembang antar generasi. Hal ini dapat memberikan pandangan mengenai perjalanan hukum secara menyeluruh berdasarkan pemikiran para ahli hukum yang ditandai pada zaman-zaman tertentu. Berikut penulis memberikan gambaran dan poin-poin penting secara garis besar dari beberapa teori hukum yang dilahirkan oleh para ahli hukum ternama dunia.

Teori Hukum dalam istilah bahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence theory atau legal theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak dan spekulatif dan dogmatika hukum dipandang terlalu konkret serta terikat pada tempat dan waktu. Istilah allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada semua sistem hukum, yang meliputi: sifat; hubungan antara hukum dan negara; serta hukum dan masyarakat. Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.

 Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatika hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; dan dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya.

1.      Teori Hukum Zaman Klasik

Zaman klasik ini ditandai dengan kemunculan para pemikir-pemikir dari Yunani yang menuangkan intuisi dan pengalaman dalam setiap karya besarnya. Artinya, zaman klasik yang di maksud disini merupakan zaman dimana manusia sudah mengenal tulisan.

a.      Teori Socrates

Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat, bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum, sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. Pemikiran Socrates ini harus dilihat dalam konteks pemikiran etisnya. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah kebahagiaan (eudaimonia). Tentu yang dimaksud Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami oleh orang Yunani, yakni suatu keadaan objektif yang tidak tergantung pada perasaan subjektif.[1] 

b.      Teori Plato

Plato merumuskan teorinya tentang hukum sebagai berikut:[2]

1)  Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani fenomena dunia yang penuh dengan situasi ketidakadilan.

2)    Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum.

3)  Setiap undang-undang didahului mukadimah (preamble) tentang motif dan tujuan undang-undang tersebut. Manfaatnya agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum itu, dan insaf tidak baik menaati hukum hanya karena takut dihukum. Ini berangkat dari konsep Socrates bahwa orang yang cukup sadar tentang hidup yang baik, akan melaksanakan yang baik itu.

4) Tugas hukum adalah membimbing para warga pada suatu hidup yang saleh dan sempurna.

5) Orang yang melanggar undang-undang harus dihukum. Tapi hukuman itu bukan merupakan balas dendam. Sebab, pelanggaran merupakan suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Seorang penjahat belum cukup tahu tentang keutamaan yang harus dituju dalam hidup ini. Pengetahuan itu dapat ditambah lewat pendidikan sehingga ia sembuh dari penyakitnya. Cara mendidik itu adalah melalui hukuman. Maka hukuman bertujuan memperbaiki sikap moral si penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.

c.       Teori Aristoteles

Aristoteles memandang bahwa hukum merupakan wahana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia pada nilai-nilai moral yang rasional. Dengan meraih keadaan ini, manusia dapat menikmati kebahagiaan. Dalam teori Aristoteles, kebahagiaan karena menemukan diri sebagai oknum moral yang rasional, merupakan tujuan ultimum manusia. Inti manusia moral yang rasional adalah memandang kebenaran sebagai keutamaan hidup. Dalam rangka ini, manusia dipandu oleh dua hal, yakni akal dan moral. Akal memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya.  Jadi akal memiliki dua fungsi, yakni fungsi teoretis dan fungsi praksis. Sementara moral menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan. Moral, memandu pada sikap moderat.[3] 

 

2.      Teori Hukum Era Aufklarung

Era Aufklarung diwarnai kekuasaan akal atau rasio manusia. Suatu fenomena budaya yang bermula saat menjelang akhir abad ke XVII. Manusia era ini adalah individu-individu yang rasional, bebas, dan otonom. Mereka mampu menentukan jalan yang dianggap baik bagi dirinya, termasuk dalam membentuk institusi hidup bersama. Negara bukan lembaga alamiah. Ia merupakan makhluk buatan dari manusia-manusia yang bebas dan rasional. Jalannya negara, berikut tatanan yang ada di dalamnya, ditentukan secara rasional dan objektif.[4]

a.      Teori Immanuel Kant

Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonomnya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Ini memang suatu hal yang wajar. Tapi sangat mungkin, pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan orang lain. Untuk menghindari kerugian itu, dibutuhkan hukum. Hukum merupakan kebutuhan dari setiap makhluk bebas dan otonom yang mau tidak mau memang harus hidup bersama. Persis di titik ini, seolah ada seruan, ‘hiduplah berdasarkan hukum jika ingin hidup bersama secara damai dan adil’. Seruan ini bernuansa imperatif etik, dan oleh karena itu, timbul kewajiban untuk menaati hukum.[5]

b.      Teori Montesquieu

Dengan ilham metode empiris dari Aristoteles, Montesquieu berusaha menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki seperangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu. Ia bertolak dari sisi watak masyarakat. Menurutnya, ada dua faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat. Pertama, faktor fisik. Faktor fisik yang utama adalah iklim, yang menghasilkan akibat-akibat fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut berpengaruh. Kedua, adalah faktor moral. Menurut Montesquieu, seorang legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil mungkin dan bahkan bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Dalam faktor moral ini, terhimpun antara lain: agama, adat-istiadat, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir, serta suasana yang tercipta di pengadilan.[6]

c.       Teori Rousseau

Rousseau dalam membangun teorinya tentang hukum beranjak dari sebuah pertanyaan dasar, mengapa manusia yang semula hidup dalam keadaan alamiah, bebas, dan merdeka itu, rela menjadi oknum yang terbelenggu oleh aturan. Menurutnya jawaban yang cocok adalah karena hukum itu milik publik dan karena sifatnya yang objektif. Dia menambahkan bahwa hakikat asasi dari hukum adalah wujud kemauan bersama, bukan kemauan golongan tertentu. Hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum yang hidup teratur dalam sistem politik negara.

Sebagai manifestasi hukum dari kemauan bersama, hukum berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi. Dalam hukum yang demikian itu, implisit hak dan kebebasan tiap orang tetap dihormati, sehingga tetap merasa bebas dan merdeka seperti sedia kala. Pendeknya, hidup dalam tertib hukum niscaya membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum. Bisa dimengerti jika Rousseau menempatkan hukum sebagai inti dari semua kehidupan sosial yang adil dan bermoral.[7]


3.      Teori Hukum Abad Ke XIX

Abad ke XIX merupakan abad peralihan antara dunia pra-modern dengan modern. Jika abad ke XX dianggap sebagai zaman yang sudah modern dalam setiap aspeknya, maka abad ke XIX merupakan batu loncatan menuju gerbang modernisasi. Maka tidak heran, teori-teori besar sepanjang sejarah umat manusia lahir di era ini, untuk selanjutnya diaplikasikan dan disempurnakan di abad ke-XX hingga abad sekarang.

a.      Teori Karl Marx

Karl Marx dapat dikatakan orang pertama, dan dengan amat jelas serta terperinci menjelaskan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia. Ia mengatakan, siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia.

Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada di baliknya. Tidak ada satupun peristiwa sejarah di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan kategori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.

Hukum pun tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Isu utama dalam hukum menurut Marx bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan orang berpunya. Ia tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka.

Hukum merupakan salah satu unsur ideologi kelas, dan karenanya menjadi pemicu konflik. Bahkan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya alienasi.[8]

b.      Teori Henry S. Maine

Maine dikenal dengan teorinya Movement from Status to Contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia (khususnya Cina atau Tiongkok dan India) dan masyarakat Eropa. Dari studi tersebut, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: Static Societies (Cina dan India); dan Progressive Societies (Eropa).

Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan-hubungan antar-status. Sebaliknya pada masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar-prestasi.

Di mata Maine, jelas kiranya, hukum hanyalah hasil ikutan dari kondisi struktural (sosial-ekonomi) masyarakat. Wajah hukum akan berubah seiring perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat itu. Hukum bukanlah alat perubahan sosial. Ia semata-mata alat peneguh kenyataan sosial.

Manakala sebuah masyarakat masih dalam kondisi tradisional (di mana hubungan-hubungan sosial mengandalkan status sosial seperti kasta atau masuk dalam kategori Static Societies), maka hukum bertugas meneguhkan posisi-posisi sosial yang telah ada itu. begitu juga, tatkala masyarakat itu telah berada dalam taraf modern (taraf kehidupan bernuansa kapital, dimana hubungan-hubungan sosial didasarkan pada prestasi ekonomi atau masuk dalam kategori Progressive Societies), maka hukum berfungsi sebagai pengabsah kontrak antar individu yang bersifat ekonomi itu.[9]

c.       Teori Emile Durkheim

Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan unit yang abstrak. Ia merupakan roh yang mengikat orang-orang pada kerangka keyakinan bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi. Inilah dimensi moral menurut Durkheim.

Tapi jika berhenti di sini, berarti mandeglah kerja sosiologi. Karena kerangka keyakinan tetaplah sebuah unit yang abstrak. Kerangka keyakinan tidak merubah solidaritas sosial menjadi sesuatu yang empirik. Durkheim lalu mencari unit empiris dalam mosaik solidaritas sosial yang abstrak itu. Di situlah ia menemukan hukum sebagai unit yang empiris dari solidaritas sosial.

Jelas di sini, dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakikatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas. Tak ada masyarakat dimana pun yang dapat tegak dan eksis secara terus-menerus tanpa adanya solidaritas itu. Sebagai tiang utama integrasi, solidaritas sosial bergerak dan berubah seirama dengan perkembangan sosial dalam masyarakat.

Perkembangan dari tahap tradisional ke tahap modern, selalu diikuti oleh pergeseran solidaritas dari yang mekanis ke organis. Perkembangan itu sejalan dan seiring dengan kian terdiferensiasinya pembagian kerja di dalam masyarakat itu. Dalam konsep Durkheim, diferensiasi pembagian kerja ini merupakan tema sentral yang akan menjelaskan terjadinya berbagai macam perubahan dalam ihwal struktur dan restrukturisasi masyarakat, tipe solidaritasnya, dan pola fungsi hukumnya.[10]


4.      Teori Hukum Abad Ke XX

Sama seperti halnya abad ke XIX, abad ke XX menjadi tonggak penting bagi perkembangan hukum zaman sekarang. Modernisasi dalam bidang hukum selalu merujuk pada teori-teori yang lahir di abad ke XX.

a.      Teori Hans Kelsen

Kelsen berpendapat bahwa terjadinya perbedaan antara bidang Sein (ada) dan bidang Sollen (harus) sebagai dua unsur dari pengetahuan manusia. Bidang Sein berhubungan dengan alam dan fakta yang seluruhnya dikuasai oleh rumus sebab-akibat. Sedangkan bidang Sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia yang dikuasai kebebasan dan tanggung jawab.

Itulah sebabnya, dalam bidang Sollen, digumuli soal kebebasan dan tanggung jawab manusia. Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia memikul tanggung jawab menciptakan hidup bersama yang tertib. Tapi untuk mewujudkan hidup bersama yang tertib itu, perlu pedoman-pedoman objektif yang harus dipatuhi bersama pula.

Pedoman inilah yang disebut hukum. Bidang Sollen, dimana hukum terhisap di dalamnya, kata Kelsen, dikuasai oleh prinsip tanggungan, yakni ‘bila hal ini terjadi, maka seharusnya itu terjadi pula’.

Dengan kata lain, jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berperilaku sesuai pola yang ditentukan itu. Singkatnya, orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang telah ditentukan. Disinilah letak sifat normatif dari hukum. Keharusan dan kewajiban menaati hukum, selalu karena telah ditentukan demikian secara yuridis-formal, bukan karena nilai yang dikandung dalam materi hukum itu sendiri. Dari sinilah kita kenal term yuridis-normatif.[11]

b.      Teori Max Weber

Hidup di Eropa, di tengah-tengah suatu transisi peradaban dimana pemikiran-pemikiran evolusionisme bukan kehilangan posisi dominasinya, Weber juga membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum. Namun berbeda dengan Marx, Maine, dan Durkheim yang cenderung bertolak dari basis material (ekonomi) sebagai dasar konstruksi teori, Weber justru menempuh arah lain. Ia menggunakan ukuran tingkat rasionalitas dan model kekuasaan untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum.

Dalam ranah tingkat rasionalitas, teori Weber berbunyi: “Tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu”. Disini ia membagi tiga tingkat rasionalitas, yakni: Substantif-irasional (pandangan mistis yang alamiah dan naluriah); Substantif (adat kebiasaan tradisional); dan rasional penuh (masyarakat maju di Barat).

Di samping tesis rasionalitas, Weber juga menggunakan tipe otoritas (model kekuasaan), sebagai basis teorinya mengenai hukum. Ia juga membagi tiga tipe otoritas yang terdapat dalam masyarakat, yaitu: tipe kharismatik (kesetiaan masyarakat terhadap orang-orang yang dianggap memiliki keistimewaan spiritual dan transendental); tipe tradisional (bertumpu pada kepercayaan tradisi orang yang dianggap layak memimpin masyarakat); dan tipe rasional (bertumpu pada kekuasaan formal untuk berkuasa berdasarkan kualitas dan kemampuan teknis yang dikukuhkan secara formal oleh negara).[12]

c.       Teori Alf Ross

Sebagai eksponen realisme hukum madzhab Skandinavia, Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross, semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan eksponen madzhab Skandinavia lainnya, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum.

Kenyataan-kenyataan itu, ditemukan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan-perasaan itu, tampak pada rasa wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut akan reaksi lingkungan. Dalam kerangka pemikiran psikologi itulah, Ross menjelaskan ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan.

Menurutnya, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila kita berbuat sesuai aturan, maka bebas dari sanksi. Sebaliknya, jika berbuat tidak sesuai, maka pasti menerima sanksi.

Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum sebagai sebuah kewajiban. Berlakunya hukum tidak lain dari suatu relasi timbal balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial.[13]

d.      Teori Warner Mainhofer

Teori Mainhofer tentang hukum, bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia, yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga sosial. Keberadaan manusia sebagai pribadi eksistensial, menghasilkan hukum alam eksistensial. Melalui hukum alam eksistensial, manusia mempunyai hak milik kebendaan (zakenrecht), dan hak person dalam hubungan dengan orang lain (persoonsrecht).

Konsekuensinya, peraturan yang dibuat dalam negara bertujuan melindungi dua hak tersebut. Pada sisi yang lain, kebutuhan manusia akan hidup sosial dalam masyarakat, menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat, seperti fungsi ayah, ibu, pembeli, pedagang, dokter, tani, buruh, dan lain sebagainya.

Melalui peraturan semacam ini, fungsi orang ditetapkan sedemikian rupa sehingga mereka dapat hidup bersama secara adil. Pertama-tama ditentukan manakah hubungan yang adil antara orang yang sama fungsinya. Kemudian juga ditentukan manakah hubungan yang adil antara orang yang berbeda menurut fungsinya, seperti antara buruh dan majikan, pedagang dan pembeli, dan seterusnya. Ontologi hukum ditentukan oleh ontologi manusia, inilah inti teori hukum dari Mainhofer.[14]



[1] Satjipto Rahardjo, 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 31.

[2] Ibid., hlm. 41.

[3] Ibid., hlm. 44.

[4] Ibid., hlm. 71.

[5] Ibid., hlm. 77.

[6] Ibid., hlm. 81.

[7] Ibid., hlm. 87.

[8] Ibid., hlm. 97.

[9] Ibid., hlm. 111.

[10] Ibid., hlm. 115.

[11] Ibid., hlm. 126.

[12]Ibid., hlm. 133.

[13] Ibid., hlm. 171.

[14]Ibid., hlm. 187.